APAKAH MODERNISASI MILITER JEPANG AKAN BERDAMPAK BESAR DI TENGAH ESKALASI ANCAMAN REGIONAL?

Jepang merupakan salah satu negara yang memiliki kekuatan angkatan bersenjata yang besar di dunia dan hingga saat ini masih dalam proses peningkatan kemampuan atau modernisasi. Akan tetapi, apakah langkah ini cukup untuk dapat mengamanankan kepentingan-kepentingannya di masa mendatang?

Jepang sedang gencar-gencarnya mempercepat normalisasi kekuatan militernya dengan membangun kemampuan ofensifnya khususnya Angkatan Udara (JASDF, Japan Air Self Defense Force). Sebagai bagian dari percepatan itu, pemerintah Amerika Serikat telah mengabulkan permintaan Jepang untuk melakukan “major upgrade” pada armada F-15J yang dimiliki Jepang saat ini. Dengan menyematkan RADAR yang berteknologi terkini dan peluru kendali jarak jauh pada 98 pesawat tempur JASDF, percepatan itu akan menjadi lompatan yang sangat penting setelah posisi Jepang di Pasifik yang mengalami kekalahan saat Perang Dunia II. Sementara itu situasi menjadi semakin kompleks ketika upgrade yang dilakukan Jepang berada ditengah penurunan industri penerbangan dalam negeri dan meningkatnya ancaman regional termasuk ekspansi militer Cina.

Sejak didirikan pada tahun 1954, JASDF fokus pada perkembangan pertahanan terhadap serangan udara dan kemampuan anti-permukaan/kapal. Hal ini merupakan kelanjutan dari image Jepang pasca Perang Dunia II sebagai negara yang mengembangkan militernya hanya untuk mempertahankan tanah airnya. Ketika JASDF membangun kemampuan untuk menghalau pesawat jet dan kapal perang musuh yang masuk ke dalam wilayahnya tanpa izin, hal itu masih belum dapat meningkatkan operasi ofensif di luar wilayah perairan Jepang. Bahkan Tokyo bergantung pada sekutu terdekatnya Amerika Serikat dalam melakukan tugasnya. Dapat dikatakan, Angkatan Bersenjata Jepang sebagai perisai dan Militer Amerika Serikat sebagai pedangnya.

Walaupun postur strategi pasifik Jepang sudah melewati masa Perang Dingin, pada Abad 21 Washington telah mendesak Jepang untuk memperkuat kekuatan militernya di tengah kekhawatiran Tokyo bahwa komitmen AS terhadap pertahanan nasional Jepang dapat saja goyah kapan saja. Alarm Jepang juga melengking tajam karena tren Nuklir Korea Utara dan peningkatan kekuatan Cina yang memaksa Jepang mempercepat upaya normalisasi militernya.

Salah satu langkah signifikan dari JASDF adalah mendapatkan pesawat dengan kemampuan pengisian bahan bakar udara pada tahun 2008 silam. Kemampuan yang sama sekali belum pernah dikembangkan oleh Jepang sebelumnya dimana hal ini akan meningkatkan daya jangkau pesawat-pesawat tempur mereka untuk dapat menyerang negara lain. Walaupun Jepang berdalih bahwa pembelian pesawat itu untuk mengurangi biaya bahan bakar dan memperpanjang durasi patroli pertahanan udara mereka serta meningkatkan waktu reaksi dalam menghalau musuh.

Lompatan signifikan lain yang dilakukan oleh Militer Jepang dalam melaksanakan normalisasi terjadi tahun 2016 dimana mereka mengumumkan akan mengembangkan rudal jelajah anti-kapal dengan kemampuan menyerang target di daratan. Senjata semacam ini, termasuk versinya yang dapat diluncurkan lewat udara, akan secara signifikan meningkatkan kemampuan JASDF dalam menyerang musuh potensial –termasuk Korea Utara dan Cina- di teritorial mereka sendiri. Keputusan JASDF untuk melaksanakan major upgrade pesawat tempur F-15J miliknya juga mendorong transisi menuju negara dengan kemampuan militer ofensif. Modernisasi pesawat lawas yang berkekuatan gempur tinggi ini akan menjadikannya potensial sebagai pembawa rudal jelajah jarak jauh.

Seiring dengan pembelian pesawat tempur generasi ke-5 yaitu F-35, upgrade F-15J akan meningkatkan kemampuan ofensif Jepang termasuk kemampuan menyerang lawan potensial, lebih dari hanya sekedar bertahan yang tentunya akan mendorong adanya efek gentar (deterrent effect). Tapi sekali lagi, peningkatan ini juga tersaingi dengan ancaman yang juga terus tumbuh dan berkembang.

Selama Perang Dingin dan masa-masa kedekatan dengan sekutunya Amerika Serikat, Jepang hanya fokus terhadap Uni Soviet dan menganggapnya satu-satunya ancaman terbesar terhadap tanah air. Sekarang lingkungan ancaman Jepang meningkat menjadi lebih kompleks dan rumit. Selain menghalau pesawat-pesawat Rusia yang sudah menjadi langganan berlalu lalang di wilayah kedaulatan udara Jepang, JASDF harus mulai memperhatikan aktivitas Angkatan Udara Cina. Terlebih lagi Korea Utara terus mengembangkan misil nuklir dalam dekade terakhir ini. Semua ini memaksa Jepang untuk memanfaatkan sumber daya yang ada untuk mengembangkan rudal pertahanan dan mengarahkan JASDF untuk mendapatkan kemampuan ofensif.

Bahkan pergeseran Kualitas Teknologi dari Angkatan Udara Cina menuju ke arah yang lebih mumpuni telah menjadi ancaman serius bagi JASDF. Walaupun dari segi jumlah JASDF selalu kalah dari Cina, tetapi hal ini menjadi semakin mengkhawatirkan karena perkembangan Cina yang diikuti kualitas jet tempur dan penerbangnya. JASDF sendiri memiliki 300-an pesawat tempur dengan 20-an pesawat peringatan dini (early warning aircraft). Sedangkan Cina memiliki 1000-an lebih pesawat tempur dengan 30-an pesawat peringatan dini (early warning aircraft). Jepang menjawab tantangan ini dengan segera melakukan pembelian 147 F-35 dan melaksanakan upgrading F-15J, walaupun keputusan tersebut menimbulkan kontroversi di dalam negeri.

Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap Amerika Serikat telah mengecewakan sebagian besar industri pertahanan dan dirgantara dalam negeri. Pembelian pesawat produk luar negeri telah membuat pabrikan dalam negeri semakin tertekan karena menurunnya pemasukan. Pada tahun 2016, 52 dari 72 industri penerbangan menyatakan akan berhenti bergelut dengan industri penerbangan. Sedangkan industri dirgantara dalam negeri mungkin belum bisa mendukung 100% kebutuhan pertahanan Jepang di tengah eskalasi ancaman di wilayah regional. Layaknya buah simalakama, menjaga kedewasaan industri dirgantara untuk dapat memenuhi kebutuhan keamanan Jepang di tengah menghadapi tantangan yang terus meningkat adalah hal yang tidak mudah bagi Jepang saat ini.

(Sumber: https://nationalinterest.org)

Gambar : Business Insider




Leave a Reply