“Harapan”. Itulah kata yang merebak di seluruh hati orang-orang Asia setelah kemenangan Kerajaan Jepang terhadap Rusia di awal abad ke 20, tepatnya tanggal 28 Mei 1905. Bagaimana tidak, sebuah negara kecil di Benua Asia, Benua yang pada saat itu dipandang rendah dan sebagian besar merupakan tanah-tanah jajahan Eropa, mampu memenangkan peperangan melawan bangsa kulit putih. Kemenangan Jepang atas Rusia ini kemudian membangkitkan semangat bagi seluruh masyarakat Asia untuk memberikan perlawanan terhadap bangsa penjajah. Di India, Bal Gangadhar Tilak, memimpin pergolakan melawan penjajahan Inggris hingga akhirnya ditangkap dan diasingkan oleh Pemerintah Inggris di India, meskipun sempat dibela oleh pengacara kondang saat itu, Muhammad Ali Jinnah. Di Indonesia sendiri, awal abad ke 20 ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, dan lain-lain yang pada akhirnya mengadakan kongres pemuda I dan II yang menghasilkan Sumpah Pemuda.
Kemenangan yang memberikan harapan kepada bangsa Asia ini, diperoleh Jepang setelah armada Angkatan Laut Kerajaan Jepang yang dikomandoi Laksamana Besar Togo Heihachiro memenangkan pertempuran laut secara telak di Selat Tsushima melawan armada Angkatan Laut Rusia. Dalam pertempuran ini, Laksamana Besar Togo mengaplikasikan sebuah taktik baru dalam pertempuran laut yang di kemudian hari juga diaplikasikan oleh Angkatan Laut negara lain. Selain itu, kemenangan beliau pada pertempuran di Selat Tsushima ini juga mengubah konsep desain kapal perang di seluruh dunia.
Laksamana Besar Togo Heihachiro (東郷平八郎) lahir di Kagoshima, Jepang pada tanggal 27 Januari 1848. Pengalaman pertama Togo dalam pertempuran laut terjadi ketika usia 15 tahun. Saat itu, Togo mengawaki meriam pertahanan pantai ketika Kagoshima dibombardir oleh Angkatan Laut Inggris. Togo memasuki Angkatan Laut Kerajaan Jepang (Imperial Japanese Navy) sebagai kadet pada tahun 1870, saat ia berumur 22 tahun. Bersama dengan 11 orang rekannya, Togo mendapatkan kesempatan melaksanakan program pertukaran kadet jangka panjang ke Kerajaan Inggris, kiblat Angkatan Laut dunia di masa itu, selama 7 tahun (1871-1878) hingga akhirnya pulang kembali ke Negeri Sakura dengan pangkat Letnan Dua.
Togo pertama kali menjabat sebagai komandan kapal pada tahun 1883 pada kapal IJN (Imperial Japanese Navy) Daini Teihu, kemudian menjabat komandan kapal kelas korvet IJN Amagi. Selama berdinas di IJN Amagi, Togo mengamati dari dekat kiprah Laksamana Anatole-Amédée-Prosper Courbet memimpin Armada Angkatan Laut Perancis dalam pertempuran melawan Tiongkok. Bahkan, Togo juga mengamati secara langsung Operasi Pendaratan Keelung di Formosa, Taiwan yang dilancarkan oleh Angkatan Bersenjata Perancis. Tahun 1885 saat itu, sedang terjadi perebutan wilayah Tiongkok oleh negara-negara besar seperti Inggris, Jerman, Rusia, dan Perancis. Jepang adalah satu-satunya negara non-Eropa yang turut andil dalam perebutan pengaruh geopolitik, sejak saat itu hingga berlanjut ke Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Nama Laksamana Togo melejit di dunia internasional berkat kiprahnya yang luar biasa pada perang antara Jepang dengan Rusia pada tahun 1904. Kala itu, Togo menjabat sebagai Panglima Armada Gabungan Angkatan Laut Kerajaan Jepang (連合艦隊司令長官). Togo memulai serangan pada 8 Februari 1904 dengan menyerang Port Arthur dan memblokadenya dengan cara menenggelamkan beberapa kapal uap yang diisi beton, kemudian menebarkan ranjau laut di mulut alur Pelabuhan. Armada Rusia berusaha sekuat tenaga untuk menghentikan blokade tersebut, namun gagal. Bahkan, Rusia kehilangan dua Panglima Armadanya dalam usaha menghentikan blokade Togo, yaitu Laksamana Stepan Osipovich Makarov dan Laksamana Wilgelm Vitgeft.
Pada pertempuran ini, Togo melancarkan taktik yang hingga kini dikenal dengan istilah “crossing the T” atau “capping the T”, yang artinya memposisikan barisan kapal kita sehingga berada tegak lurus terhadap barisan kapal musuh. Ketika kita berhasil melakukan ini, seluruh kapal kita dapat mengarahkan seluruh meriam yang dimiliki kepada barisan kapal musuh, namun sebaliknya barisan kapal musuh hanya dapat mengarahkan meriam haluannya saja terhadap barisan kapal kita.
Setelah kehilangan dua Perwira Tingginya di Laut Kuning, sebagai upaya terakhir menghancurkan armada Laksamana Togo, pada 15 Oktober 1904 Kerajaan Rusia mengerahkan Armada Baltik. Laksamana Zinovy Rozhestvensky memimpin Armada Baltik lengkap dengan 8 battleship, 8 cruiser, 9 destroyer, dan kapal bantu lainnya dengan jumlah 38 kapal. Mereka berlayar mengitari setengah dunia sejauh 18.000 NM dari Pangkalan Armada Baltik di sebelah barat Rusia di Kaliningrad menuju Laut Jepang, dengan singgah di Maroko, Senegal, Gabon, Madagaskar, dan Vietnam. Ketika di Madagaskar, mereka mendengar berita Port Arthur telah jatuh ke tangan Tentara Jepang.
Laksamana Togo memperkirakan dengan jatuhnya Port Arthur, Armada Baltik akan mengisi ulang perbekalan di Vladivostok. Sehingga, beliau mempersiapkan pencegatan di Selat Tsushima, dengan kekuatan 4 battleship, 10 cruiser, dan 18 destroyer. Togo juga meminta bantuan kapal-kapal dagang di sekitar selat Tsushima untuk membantu melapor ke markas Laksamana Togo apabila melihat armada kapal Rusia yang melintas. Prediksi Togo ternyata tepat, pada malam hari akhir Mei 1905, markas mendapat laporan dari kapal dagang di sekitar Selat Tsushima bahwa ada iring-iringan kapal mencurigakan yang akhirnya teridentifikasi sebagai iring-iringan kapal perang Rusia.
Pada 27-28 Mei 1905, masih melalui komunikasi yang terus terjalin dengan kapal dagang di Selat Tsushima, Togo mampu mencegat dan memposisikan armadanya pada posisi crossing the T terhadap armada Baltik Rusia. Ketika kedua armada saling melihat satu sama lain, Togo memerintahkan kapal markasnya untuk menaikkan bendera “Zulu”, yang bagi armada Togo berarti “Masa depan negara bergantung pada hasil pertempuran ini, setiap personel harus melakukan tugasnya dengan baik”.
Pertempuran laut terjadi dengan posisi sangat tidak menguntungkan Armada Baltik. Armada Baltik kalah telak, kehilangan seluruh battleship, sebagian besar cruiser, destroyer, dan kapal bantu, dengan korban jiwa lebih dari 5.000 personel. Sedangkan Armada Togo hanya kehilangan 3 destroyer dengan korban jiwa sekitar 116 personel. Dari keseluruhan 38 kapal, hanya 3 kapal Rusia yang berhasil melarikan diri ke Vladivostok. Laksamana Rozhestvensky terluka parah di kepala dan ditangkap oleh Armada Jepang. Beliau dirawat di Rumah Sakit Jepang dan sempat dijenguk oleh Laksamana Togo setelah perang berakhir. Di sana, Togo menenangkan hati Rozhestvensky dengan kalimat yang artinya “Kekalahan adalah takdir yang biasa menimpa seorang prajurit. Tidak perlu merasa malu, yang terpenting adalah kita sudah melaksanakan tugas dengan baik.” Kemenangan Togo di Selat Tsushima menghancurkan dominasi laut Rusia di Asia Timur, yang kemudian memaksa Rusia untuk menyerah pada 5 September 1905 melalui Perjanjian Portsmouth.
Kekalahan Rusia dalam pertempuran lautnya melawan Jepang, membuat angkatan laut diseluruh dunia mempelajari taktik pertempuran laut Crossing the T yang digunakan Togo, dan mengaplikasikannya di latihan angkatan laut masing-masing. Selain itu, pertempuran ini juga membuka mata dunia bahwa pertempuran laut lebih efektif digelar pada jarak yang jauh. Sehingga, industri-industri pertahanan di seluruh dunia mengubah desain kapal perangnya menjadi lebih terfokus pada meriam utama dengan kaliber besar, daripada meriam-meriam kecil untuk jarak dekat. Angkatan Laut Inggris merealisasikannya dengan membangun HMS Dreadnought yang kemudian konsepnya diikuti oleh dunia internasional.
Setelah perang berakhir, Togo diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Laut Kekaisaran Jepang, dan diberikan gelar bangsawan (侯爵) oleh Kaisar. Beliau juga diangkat sebagai anggota kehormatan British Order of Merit oleh Raja Inggris, Edward VII. Pada tahun 1913, Togo Heihachiro menerima pangkat penghargaan Laksamana Besar dan selanjutnya ditugaskan untuk mendidik langsung Putera Mahkota Hirohito.
Laksamana Besar Togo Heihachiro meinggal dunia pada 30 Mei 1934 akibat kanker tenggorokan, pada usia 86 tahun. Kepergiannya diacarakan oleh Kekaisaran Jepang dalam sebuah parade Angkatan Laut di Teluk Tokyo, yang dihadiri oleh perwakilan dari Angkatan Laut Inggris, Amerika Serikat, Belanda, Perancis, Italia, dan Tiongkok. Jepang bahkan mendirikan sebuah kuil Shinto atas nama Togo di Harajuku, Tokyo dan di Tsuyazaki, Fukuoka. Setelah perang dunia kedua, pada tahun 1958, Laksamana Besar Chester Nimitz dari Angkatan Laut Amerika Serikat, membantu pemugaran kapal battleship Mikasa yang dulu dijadikan kapal markas oleh Togo Heihachiro, dan setelah itu dijadikan museum terapung di daerah Yokosuka.
Sebelum meninggal, Laksamana Besar Togo Heihachiro menulis di buku catatannya dengan bahasa Inggris “I am firmly convinced that I am the reincarnation of Horatio Nelson”. Dari catatan inilah, Togo Heihachiro mendapat julukan “Nelson dari Timur”. (FAW)
Referensi:
- https://www.allworldwars.com/The-Life-of-Admiral-Togo-by-Arthur-Lloyd.html
- https://intisari.grid.id/read/03966771/mengunjungi-kapal-tempur-mikasa-yang-meriamnya-pernah-berkumandang-di-seluruh-asia
- https://tirto.id/112-tahun-lalu-rusia-pernah-takluk-lawan-jepang-cpqv
- Gambar dan ilustrasi diambil dari wikimedia.