Kebijakan Politik Jepang: Perkuat Pertahanan dengan Collective Self Defense

Popularitas Perdana Menteri (PM) Jepang, Shinzo Abe, secara perlahan menurun sejak dukungannya terhadap wacana Rancangan Undang Undang (RUU) rahasia negara yang mengundang kritikan publik. RUU tersebut akan mengatur secara detail terhadap informasi yang tergolong rahasia negara, membaginya dalam 55 kategori; lengkap dengan sanksi bagi mereka yang dengan sengaja membocorkan serta pihak yang menerima informasi tersebut, termasuk kalangan jurnalistik. Tujuan Abe sebenarnya untuk memberikan kepercayaan lebih bagi negara sekutu Jepang untuk saling berbagi informasi intelijen dengan pemerintahnya. Namun dari hasil survey, 80% masyarakat tidak setuju karena hal ini dinilai hanya akan mencemari nilai demokrasi di Jepang, membatasi kebebasan pers dan mengurangi transparansi serta akuntabilitas. Juga adanya kekhawatiran bahwa RUU ini akan dijadikan tameng untuk menutupi kesalahan pemerintah. Wacana kerahasiaan negara ini juga merupakan bagian dari program Abe untuk meningkatkan kerjasama dengan Amerika Serikat, sebuah elemen penting untuk mendongkrak pewujudan postur pertahanan negara yang ideal. Pada 2015, Abe telah menandatangani perjanjian baru terkait bantuan kepada negara sekutu pada saat genting. Di penghujung tahun, meski suara oposisi dan publik penentang semakin kuat, fraksi partai pimpinan Abe, Liberal Democratic Party (LDP), berhasil melegalkan aturan gelar pasukan “tentara” Jepang secara internasional yang dikenal dengan “collective self-defense”.

Pakar hukum menilai bahwa RUU ini adalah bentuk kesalahan interprestasi pada UU Konstitusi No.9 yang membatasi segala bentuk kemiliteran kecuali dalam konsep pertahanan negara (UU ini diadopsi dari Amerika Serikat saat peralihan kekuasaan paska kekalahan Jepang pada PD II). Publik menggelar demo besar-besaran menentang aturan ini, karena takut Jepang akan kembali terseret ke dalam perang atas ambisi Amerika Serikat, meski sebenarnya tidak ada sangkut paut dengan pertahanan Jepang. Meski Abe sudah meyakinkan publik bahwa penerapan aturan tersebut hanya sedikit berbeda dengan kondisi sebelumnya, namun di lain sisi, juga menjamin bahwa Jepang akan menambah dukungan kepada kebijakan pertahanan Amerika. Strategi retoris ini sebenarnya malah mengecewakan kedua belah pihak, terlebih dengan trauma masa lampau saat Jepang bergabung dalam perhelatan perang dunia.

Namun, ketiadaan sosok politikus selevel Abe menjadikan publik tetap memilihnya kembali. Sorotan akan kebebasan pers yang menurun juga turut mencuat berdasar data dalam rentang 2010 hingga 2016, peringkat Jepang turun dari 61 ke 72 dari 180 negara, terutama karena pemberitaan kasus reaktor Fukushima dan UU rahasia negara serta tekanan pemerintah terhadap jurnalis yang mengkritik Abe, juga skenario berita untuk mengangkat citra penguasa parlemen.

Permasalahan tentang proporsi pemberitaan media yang tidak seimbang terkait kinerja pemerintah telah dijadikan evaluasi saat penguasa parlemen tahun 2009, LDP, kemudian kehilangan kepercayaan masyarakat hingga akhirnya kalah dari oposisi pada pemilu berikutnya. Saat itu, pihak LDP mempercayai bahwa lebih banyak berita yang disajikan media cenderung menyalahkan pemerintah terhadap kejatuhan ekonomi Jepang, ketimbang menyoroti topik bahwa di waktu yang sama, perekonomian global juga mengalami keterpurukan berulang, tepat satu dekade sejak krisis finansial tahun 1998. Hal ini kemudian diperparah dengan adanya beberapa kejadian pengamat kebijakan pemerintahan maupun ahli tata negara yang kemudian dipecat setelah mereka menjabarkan analisa yang dinilai bias oleh pemerintah, dipecat ataupun di-non-aktifkan dari tempat kerjanya. Dalam semester pertama 2016 ini pun, sudah tercatat tiga kasus serupa, dimana pihak yang dinilai mengkritik pemerintah secara terbuka melalui media, kembali mendapatkan “perhatian khusus” dari penguasa pemerintahan.

Sumber :

Abe’s Faltering Efforts to Restart Japan, Jeff Kingston, Majalah Current History, September 2016.




Leave a Reply