Tokyo sebagai kota metropolitan diwajibkan memiliki alat transportasi yang mampu menopang kebutuhan transportasi penduduknya. Bagi negara Jepang, Tokyo merupakan ibukota negara sebagai pusat politik, sosial, ekonomi, akademik, dan budaya. Dengan jumlah penduduk 13.370.198 jiwa dan bertambah hingga 15.576.130 jiwa pada saat jam kantor di hari kerja, kebutuhan akan sebagai alat transportasi masal menjadi hal yang tak terelakan.
Ada beberapa moda transportasi utama di Tokyo untuk menunjang aktivitas warganya seperti KRL, monorel, subway, bis, kapal, dan taksi. Dari sekian moda transportasi tersebut yang paling menonjol dari segi jumlah dan penggunaan oleh warganya adalah KRL.
Dalam bahasa jepang KRL disebut 電車(densha). Pada umumnya kata ini juga digunakan orang Jepang untuk menyebut kereta meskipun dalam bahasa Jepang ada juga kata resha (列車) yang juga berarti kereta namun lebih luas penggunaannya. Selain itu ada juga romen densha (路面電車) yang berarti trem listrik, seperti yang ada di Jakarta tahun 1900-an hanya saja masih menggunakan uap. Selain densha sebagai moda MRT, di Tokyo ada juga moda monorel dan APM (Automated People Mover). Kedua moda ini biasa disebut monoreru (モノレール) oleh orang Jepang. Satu lagi jenis kereta yang mempunyai penyebutan khusus adalah kereta api cepat shinkansen (新幹線). Hal ini tentunya berbeda dengan sebutan “kereta” di Indonesia yang berarti kereta berlokomotif. Jika kita ingin menyebut kereta yang menggunakan listrik pasti akan kita sebut KRL.
Densha dirasakan memberi manfaat yang besar bagi warga Tokyo dan sekitarnya untuk menunjang aktivitas mereka sehari-hari. Dengan rata-rata kedatangan lima menit sekali (tergantung rute, berbeda-beda antara 3-10 menit), mereka dapat berpindah dari rumah (実家-jikka) atau apartemen (アパート-apato) ke kantor (会社-kaisha), sekolah (学校-gakko), pasar (商店街-shotengai) dan sebagainya dalam waktu lebih cepat dibandingkan jika mereka menggunakan kendaraan pribadi. Disamping itu mereka juga dapat mengatur waktu kedatangannya ke suatu tempat karena densha yang mereka naiki selalu tepat waktu. Saat berkomunikasi, orang Jepang terbiasa untuk menyebutkan stasiun (駅-eki) terdekat dari tempat tujuannya. Sebagai contoh : Tempat wisata Meiji Jingu berada di distrik Shibuya, namun eki terdekatnya adalah di Harajuku eki kalau dari arah selatan atau Yoyogi eki jika datang dari arah utara. Sehingga saat membuat janji dengan orang Jepang untuk sama-sama berkunjung ke Meiji Jingu, kita bisa membuat janji untuk bertemu di Harajuku eki atau Yoyogi eki pada hari apa pukul sekian. Perlu diingat bahwa orang Jepang sangat memperhatikan waktu, jadi jika sudah berjanji tidak ada alasan untuk terlambat karena waktu perjalanan densha bisa diperhitungkan dan frekuensi perjalanan antar satu densha dan lainnya sangat banyak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa densha memiliki peranan yang sangat besar bagi rutinitas kehidupan sehari-hari masyarakat Tokyo.
Lalu bagaimana dengan orang asing termasuk kita orang Indonesia yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di Tokyo, tidak bisa bahasa Jepang (日本語-nihongo) dan ingin mencoba merasakan naik densha? Meskipun petunjuk dalam bahasa Inggris ada, namun hanya terdapat pada stasiun-stasiun besar, masih banyak dijumpai eki yang hanya memiliki petunjuk bahasa Jepang.
(bersambung)