Pesawat tempur F-2 merupakan pesawat tempur buatan dalam negeri Jepang yang diproduksi oleh Mitsubishi hasil riset bersama Jepang dan AS. Pesawat yang merupakan pengembangan dari pesawat F-16 ini memiliki kemampuan anti kapal permukaan yang canggih, sangat sesuai dengan lingkungan geografis Jepang yang dikelilingi lautan dari segala penjuru. Bergabung dengan AU Jepang pada tahun 2000, 90 unit pesawat F-2 yang saat ini masih aktif akan memasuki masa pensiun pada tahun 2030.
Kementrian Pertahanan Jepang baru baru ini mengungkapkan konsep rancangan kebutuhan pesawat tempur pengganti F-2 yang dimiliki AU Jepang. Inti kemampuan pesawat tempur penerus F-2 yang diajukan Kementerian Pertahanan Jepang yaitu mampu membawa dan meluncurkan UAV mini untuk mendeteksi musuh pada jarak jauh, mengirimkan informasi tangkapan radar serta memiliki kemampuan “siluman” tidak terdeteksi radar melebihi kemampuan pesawat tempur F-35A yang pada pertengahan tahun lalu bergabung memperkuat AU Jepang.
Selain kemampuan membawa UAV mini atau “Anak Pesawat”, beberapa kemampuan lain berdasarkan Operation Requirement dalam dokumen Konsep Rancangan Pesawat Pengganti F-2 yang disampaikan Kementrian Pertahanan Jepang kepada pemerintah AS dan Inggris pada bulan Maret tahun ini, antara lain mampu menyimpan 8 rudal Air-to-Air (2 kali kemampuan F-35A), memiliki kecepatan maksimum Mach 2 (sama dengan kecepatan maksimum F-2) serta memiliki kemampuan jelajah, tidak terdeteksi radar dan jarak jangkau radar diatas F-35A. Selain itu rencananya pesawat ini juga harus dapat membawa rudal anti kapal sesuai kebutuhan operasi.
Tampaknya Kementrian Pertahanan Jepang berusaha keras segera mewujudkan rencana pengembangan pesawat pengganti F-2 untuk mengimbangi modernisasi AU China. Seperti diketahui, bulan Februari tahun ini AU China baru mendapatkan tambahan kekuatan pesawat siluman terbaru produksi dalam negeri yaitu varian J-20. Pesawat siluman canggih ini konon hanya dapat dideteksi dari jarak dekat, dimana dari segi taktik pertempuran hal ini tentu saja sangat tidak menguntungkan bagi pesawat AU Jepang. Kemajuan “teknologi siluman” atau kemampuan tidak terdeteksi radar inilah yang dianggap menjadi dasar pemikiran konsep “Anak Pesawat” atau UAV mini yang memiliki kemampuan deteksi pada jarak jauh. Oleh karena itu riset dan pengembangan UAV akan dilakukan sejalan dengan riset pesawat tempur.
Apabila membandingkan jumlah pesawat, saat ini diluar pesawat F-4 yang sudah usang Jepang hanya mengoperasikan total 300 unit, sedangkan disisi lain Cina memiliki 800 unit pesawat serupa. Meskipun pada bulan Januari tahun ini Jepang mulai mengoperasikan pesawat F-35A yang berpangkalan di Mizawa, Prefektur Aomori. Pesawat canggih yang merupakan hasil riset bersama 9 negara termasuk AS dan Inggris, namun hanya mampu membawa 4 rudal Air to Air karena ukuran badan pesawat yang tergolong kecil.
Perbandingan jumlah kekuatan dengan AU China inilah yang juga diduga keras menjadi alasan mengapa dibutuhkan pesawat yang mampu memuat rudal anti udara dua kali lebih banyak dibandingkan F-35A.
Kementrian Pertahanan Jepang memiliki 3 opsi untuk mengembangkan pesawat penerus F-2 yaitu melalui riset dan produksi dalam negeri, riset dan produksi bersama negara lain serta modifikasi pesawat produksi luar negeri yang sudah ada. Opsi riset dan produksi dalam negeri sepertinya tidak akan diteruskan karena diperkirakan akan menghabiskan anggaran sekitar JPY 1-2 triliun (Rp 120-240 triliun). Walaupun belum secara resmi diputuskan, Kementrian Pertahanan Jepang cenderung akan memilih opsi kerja sama dengan perusahan Amerika, Lockheed Martin untuk mengembangkan pesawat penerus F-2 dengan pesawat tempur siluman F-22 dan F-35 sebagai dasar.
Sumber :
Yomiuri Shinbun (http://www.yomiuri.co.jp/)