Diplomasi Politik ala Abe, Kilas Balik 2016

Pertengahan 2016, Perdana Menteri (PM) Shinzo Abe kembali mendulang kemenangan dengan koalisinya pada pemilu di Parlemen Jepang dan menjadi pemimpin terlama dalam catatan paska Perang Dunia II hingga periode 2018, bahkan 2020 jika amandemen disetujui. PM Abe berhasil menggiring kebijakan politik Jepang ke arah yang lebih stabil, kendati kondisi perekonomian masih tergagap dalam rangka pemulihan beberapa perusahaan besar yang terancam gulung tikar, seperti Sharp dan Toshiba.

Salah satu momen penting tersebut adalah disetujuinya amandemen konstitusi negara, terutama pada Undang-Undang Pertahanan Negara, penambahan konsep “Collective Defense” telah mengundang penolakan secara luas di seluruh penjuru negeri, karena masyarakat khawatir Jepang akan mengulangi kesalahan masa lalu dengan ikut terjerumus dalam kancah perang. Imbas langsung amandemen ini, Jepang telah menggelar pasukan Japan Self Defense Force dibawah bendera Pasukan Perdamaian PBB di Sudan sejak Oktober 2016. Dalam misi ini, prajurit JSDF diperkenankan menggunakan senjata mereka, suatu hal terlarang untuk dilakukan diluar negara Jepang semenjak akhir Perang Dunia II hingga amandemen konstitusi diberlakukan.

Pemerintah Jepang juga merevisi konteks kerjasama pertahanan dengan Amerika Serikat, dimana penerapan fungsi kooperasi hendaknya tidak dibatasi dalam konteks geografis saja, melainkan harus secara global, termasuk dalam ranah ruang angkasa dan perang cyber. Jika hal ini akan diberlakukan sepenuhnya, maka Jepang akan secara aktif berada di sebelah Amerika dalam menangani konflik disekitar wilayah Asia Timur – Tenggara, misalnya ekskalasi ketegangan di Laut China Selatan maupun persoalan nuklir di Korea Utara.

Namun, perluasan kerjasama dengan Amerika ini tidaklah berjalan mulus seperti yang diidamkan kedua pihak. Tiga perempat kekuatan pasukan Amerika ditempatkan di Okinawa, dan karenanyalah, seakan masalah gesekan antara penduduk setempat dengan prajurit AS terus terjadi yang memicu penolakan bahkan ditingkat pemerintah daerah. Gubernur Okinawa terus dan berulang kali meminta relokasi markas pasukan Amerika, tetapi pemerintah pusat berhasil meredam dengan janji relokasi akan direalisasikan pada 2025. Banyak pihak menilai, selama PM Abe masih berkuasa di parlemen, kerjasama dengan Amerika cenderung akan tetap bertahan dalam arti yang positif, terutama dalam rangka menghadapi penetrasi China dalam konteks kewilayahan.

PM Abe juga berhasil mengubah kebijakan ekspor industri pertahanan Jepang, hingga sempat beredar rumor pembelian kapal selam modern buatan Jepang oleh Australia pada 2015, namun sayangnya PM Tony Abbot terguling di tahun berikutnya, dan penerusnya memutus begitu saja program tersebut. Rencana kerjasama dan litbang F-35A Joint Strike Fighter antara Tokyo – Canberra juga sempat mencuat, namun rezim baru di Australia sepertinya harus memaksa pemerintah Jepang kembali melakukan lobi agar rencana ini tidak turut hangus seperti proyek kapal selam. Dilain tempat, Jepang juga akan kehilangan prospek ekspor pesawat SAR amphibi US-2 ke India.

Meski demikian, Jepang telah menunjukkan keseriusannya terhadap masalah ketegangan di Laut China Selatan dengan menghibahkan dua unit kapal bekas TC-90 Maritime Patrol kepada Filiphina, yang menjadikannya sekaligus promosi keunggulan teknologi militer Jepang. Vietnam juga menunjukkan minat untuk membeli pesawat P3-C milik Jepang guna mendukung patroli di lautan konflik.

Meskipun begitu, publik tetap tidak bisa menutup mata dengan beberapa insiden klasik yang melibatkan China dan Korea Selatan, seputar masalah perbatasan wilayah maupun ganti rugi zaman pendudukan Jepang. Terutama dengan China, konflik tidak hanya terjadi dalam konteks langsung, namun juga persaingan dalam pemenangan proyek infrastrukur di negara-negara Asia lainnya. Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung telah dimenangkan China, namun sebaliknya Jepang menang untuk proyek sejenis di Mumbai-Ahmedabad (India). Persaingan ini juga sampai hingga benua Afrika, dimana kedua belah pihak sama-sama menawarkan pinjaman lunak yang menggiurkan untuk pembangunan infrastruktur dan kemajuan ekonomi di Zimbabwe.

Hubungan dengan Korea Selatan nampak membaik di awal tahun 2016 karena dipicu oleh ujicoba rudal nuklir Korea Utara yang memaksa Tokyo – Washington – Seoul menjadi lebih intim guna mengatasi ancaman tersebut. Korea Selatan juga menerima permintaan maaf Jepang dalam pidato peringatan 70 tahun berakhirnya PD II setelah PM Abe menawarkan dana kompensasi, terutama untuk kasus perempuan budak seks. Namun situasi ini sempat tercoreng setelah publik Korea tetap menuntut Jepang untuk kompensasi yang lebih besar hingga PM Abe berang dan menarik duta besarnya pulang hingga pergantian tahun.

 

sumber : Strategic Survey 2016: The Annual Review of World Affairs, September 2016




Leave a Reply