Jepang tercatat dalam sejarah sebagai satu-satunya negara yang pernah menjadi korban dari senjata nuklir, yaitu pada Perang Dunia II dengan dijatuhkannya bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki. Tidak mengherankan kemudian, jika konstitusi Jepang kemudian menetapkan kebijakan 3 NO untuk segala jenis senjata nuklir (tidak memiliki, tidak membuat/mengolah, dan tidak membolehkan) berada dalam wilayah teritorialnya. Namun, keraguan kemudian muncul, disaat ekskalasi aktivitas uji coba senjata nuklir Korea Utara semakin gencar, ditambah stok olahan plutonium (weapons-grade) untuk sumber energi nuklir di Jepang sudah ada pada level sangat banyak.
Pada pertengahan Januari lalu, Jepang – Amerika telah sepakat untuk memperpanjang secara otomatis perjanjian kerjasama bidang nuklir yang awalnya akan berakhir pada Juli mendatang. Perjanjian ini, ditandatangani pada 1988, memberikan keleluasaan kepada Jepang untuk mengolah ulang sumber energi nuklir berupa plutonium. Jepang sebenarnya mulai mengadopsi reaktor nuklir untuk sumber energi negaranya sejak 1950an, karena memang masalah energi ini pulalah yang menjadikannya semakin beringas dalam kancah PD II. Saat itu juga, Jepang sudah bermimpi untuk menjual teknologi pengolah nuklir ke seluruh dunia.
Di tahun 2016, Jepang sebenarnya telah mengembalikan sekitar 300 kg plutonium kepada Amerika, yang awalnya ditujukan untuk kepentingan penelitian, hasil dari sumbangan Amerika, Inggris dan Perancis. Berdasar perjanjian dengan Amerika tadi, Jepang sekarang memiliki 48 ton plutonium olahan, dan belum ada kejelasan tentang rencana pengolahan lanjutannya. Plutonium olahan ini sangat mudah jika akan diolah lagi menjadi bahan senjata nuklir, namun untuk mewujudkan impian mengkomersialisasi teknologi pengolahan nuklir, masih sangat jauh dari harapan karena aturan dan perlawanan organisasi anti nuklir yang begitu keras.
Reaktor baru?
Sebenarnya, pada tahun 1977, Amerika telah meyakinkan Jepang, bahwa plutonium olahan akan dapat digunakan menjadi sumber energi reaktor nuklir yang tidak terbatas, hingga kemudian memicu produksi yang luar biasa. Bahkan, Jepang memberanikan diri dengan menganggarkan pembukaan reaktor pengolah baru di Rokkasho, pada musim gugur 2018 ini. Desain awalnya, reaktor ini mampu memproduksi 8 ton plutonium olahan (weapons-grade), yang menurut perhitungan International Atomic Energy Agency, cukup untuk membuat 1000 senjata nuklir per tahunnya. Padahal, berdasarkan data pada artikel kebijakan politik luar negerinya, Jepang sudah memiliki 5 reaktor pengolah plutonium dan membatalkan satu-satunya rencana pendirian reaktor pengolah lanjutan. Hal inilah yang memicu kekhawatiran dan spekulasi terburuk, untuk apa Jepang terus memproduksi plutonium olahan tanpa menyiapkan pengolah lanjutannya, selain untuk bahan baku senjata nuklir?
Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, pada kesempatan lalu mengabaikan permintaan Beatrice Fihn, direktur eksekutif dari International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN), yang menjadi pemenang piala Nobel Perdamaian tahun 2017, untuk bertemu dalam kunjungannya ke Jepang. ICAN memang sangat getol dalam kampanyenya untuk melarang dan menghapus segala bentuk senjata nuklir di dunia. Fihn sangat berharap, Jepang dapat mengambil peran terdepan dalam bidang ini, terlebih karena mayoritas masyarakatnya masih memiliki trauma mendalam akibat senjata nuklir.
Sumber :
http://www.nationmultimedia.com/detail/opinion/30337363 (diakses pada 1 Februari 2018)
https://www.reuters.com/article/us-northkorea-missiles-japan/allowing-nuclear-weapons-in-japan-could-defuse-north-korean-threat-say-some-policy-makers-idUSKCN1BH1FO (diakses pada 1 Februari 2018)
https://www.japantimes.co.jp/opinion/2017/09/17/commentary/japan-commentary/time-nuclear-sharing-japan-drawing-near/ (diakses pada 1 Februari 2018)