Dalam pembahasan sejarah Perang Dunia II, sepak terjang kekejaman tentara Jepang selalu menjadi topik utama. Tidak hanya negara Asia Tenggara yang mayoritas menjadi daerah jajahan dalam rangka pemenuhan sumber daya untuk perang, bahkan Cina dan Korea Selatan pun hingga saat ini masih tetap sengit menuntut ganti rugi serta permohonan maaf dari Jepang.
Namun, bagaimana pun kejamnya tentara Jepang pada kancah PD II, sebagai bagian dari keluarga masing – masing, tetap saja mereka selalu dirindukan untuk dapat berkumpul kembali. Dalam budaya spiritual Jepang, seseorang yang meninggal akan berkumpul kembali dengan keluarganya dalam bentuk simbol abu jasad mereka yang disimpan di rumah mereka. Lalu bagaimana dengan para tentara Jepang yang mati dalam perang dan jasad mereka tidak mendapatkan perlakuan sebagaimana layaknya?
Setidaknya, dari 2,4 juta tentara Jepang yang dilaporkan mati selama PD II, masih ada 1 juta nama dengan status “missing in action”, dan para keluarga mereka tidak pernah mendapat kabar lagi sejak perang dinyatakan berakhir. Layaknya dalam sebuah film peperangan, dimana anak ataupun seorang suami yang harus memenuhi panggilan menjadi bala tentara bagi negaranya, para keluarga yang ditinggalkan selalu menaruh harapan agar mereka dapat berkumpul kembali setelah semuanya usai.
Di Jepang, ada kepercayaan bahwa jika seseorang meninggal di tempat yang jauh dan jenazahnya tidak mungkin dikembalikan, maka barang-barang yang pernah digunakan oleh orang tersebut akan menjadi penggantinya; dan inilah yang kemudian diterapkan untuk mengenang arwah anggota keluarga mereka. Setiap barang yang kembali akan menjadi simbol bahwa sang arwah telah berada di rumahnya lagi.
Dari sinilah upaya untuk mengembalikan arwah para tentara Jepang yang mati dalam perang bermula. Kita sering mendengar dari cerita ataupun melihat dalam buku pelajaran sejarah tentang sosok tentara Jepang yang membawa pedang samurai lengkap dengan topi khas berjuntainya. Atau seperti yang digambarkan sebagai pilot kamikaze mengenakan ikat kepala bertuliskan Banzai dalam film Pearl Harbour. Benda – benda seperti itulah, termasuk bendera Hinomaru yang menjadi simbol angkatan laut Jepang, yang kemudian menjadi pengganti bagi para keluarga yang ditinggal mati untuk mengenang sanak saudaranya yang tidak kembali setelah perang usai.
Tidak gampang memang untuk mengembalikan barang – barang tersebut. Banyak pihak yang menjadikan benda tersebut sebagai pampasan perang, suatu suvenir yang mahal harganya. Bayangkan saja, seperti dalam catatan sejarah perang di Iwojima, dimana pasukan sekutu Amerika, menggempur habis – habisan sebuah pulau yang dihuni penuh oleh tentara Jepang. Pada akhirnya, Amerika dapat menguasai pulau tersebut, tentunya dengan korban dari pihak Jepang yang luar biasa banyaknya, meninggalkan barang pribadi yang kelak menjadi tak ternilai harganya bagi keluarga waris mereka.
Belum lagi pasukan yang mati tenggelam di dasar lautan bersama dengan kapal perang mereka. Juga para pilot yang jatuh di pulau terpencil saat pesawat mereka ditembak kapal musuh. Adalah sebuah lembaga nirlaba bernama Obon Society yang kemudian menggagas pengembalian barang – barang tersebut kepada pemerintah Jepang untuk kemudian diteruskan kepada pewaris. Tentunya, lembaga ini mendapatkan benda – benda tersebut dari berbagai sumber yang secara sukarela menyerahkan temuan mereka, yang mungkin juga merupakan warisan dari kakek buyut mereka yang telah kembali dari medan perang dengan selamat.
Lembaga ini, sejak tahun 2009 telah menerima setidaknya 1000 bendera jenis Yosegaki Hinomaru, dari seluruh dunia, yang menjadi perlengkapan wajib setiap prajurit tentara Jepang kala itu, dan baru 180 buah yang berhasil dikembalikan kepada pewaris yang sah. Sisanya, masih butuh investigasi lebih lanjut, karena ketiadaan catatan resmi tentang siapa pemilik, atau dimana barang – barang tersebut didapatkan. Belum lagi, ada beberapa keluarga yang menolak benda tersebut, meskipun mereka menginginkan arwah saudaranya kembali, namun sepertinya, trauma terhadap perang telah mengalahkan tradisi kepercayaan mereka.
Sumber :
https://www.telegraph.co.uk/men/thinking-man/flags-found-attics-junk-shops-finally-helping-put-japanese-war/ (diakses pada 30 April 2018)
http://obonsociety.org/