Pada kunjungannya ke Washington di tahun 2013, Perdana Menteri Abe dengan penuh keyakinan, berhasil menunjukkan kewibawaannya sebagai pimpinan baru Jepang, sebagaimana yang sudah ia pelajari dari kharisma seniornya, mantan PM Jepang periode 2001 – 2006, Koizumi Junichiro. Meski secara historis, Abe sempat dikucilkan dalam partai yang dipimpinnya sekarang (Liberal Democratic Party; LDP) karena dianggap kurang jeli untuk membaca situasi di masyarakat. Abe berkeras dengan haluannya yang cenderung ingin mengangkat kembali semangat patriotisme melalui penghapusan batasan militer Jepang. Namun kepiawaiannya dalam mengolah kebijakan ekonomi Jepang, melalui program Abenomics, seakan telah menutup kekhawatiran terbesar di Jepang yang semenjak akhir 80an telah dihantui kemerosotan perekonomian karena berkurangnya aset imbas dari ledakan ekonomi pada dekade sebelumnya.
Sempat dijuluki Ronald-Reagan-nya Jepang, Abe menawarkan prospek yang lebih baik dalam bidang ekonomi sekaligus mengangkat mentalitas penduduknya yang cenderung terpuruk. Dia mengatur setiap pemberitaan di media agar tidak terjadi pengkerdilan terhadap pemerintah, terutama suara dari pihak oposisi. Memang, Abe berjaya saat pemilihan PM karena partai oposisi yang berkuasa saat itu (Democratic Party of Japan; DPJ) sedang lemah karena ketidakpuasan rakyat akan respon lambat pemerintah saat terjadi bencana gempa bumi disusul tsunami dan kebocoran reaktor nuklir pada Maret 2011 silam.
Pada pemilihan anggota parlemen di 2016 lalu, kendati koalisi Abe berhasil memenangkan mayoritas kursi, namun tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah malah menurun hingga 10% saja. Meski Abenomics masih menjanjikan, namun adanya wacana tentang RUU rahasia negara, pendidikan patriotisme, penguatan militer dan kerjasama dengan Amerika Serikat serta pengaktifan kembali reaktor nuklir kiranya akan membawa kembali trauma bagi masyarakat Jepang.
Sejak kebocoran reaktor nuklir di Fukushima, hampir seluruh pembangkit sejenis yang menyokong 30% kebutuhan listrik di Jepang langsung berhenti beroperasi. Mayoritas masyarakat Jepang memang menolak keberadaan reaktor pembangkit ini, namun ketiadaan alternatiflah yang menjadikan Abe dengan program pro-reaktor ini menang dalam pemilu 2012. Hingga pada 2015, Abe kembali mengangkat wacana reaktifasi pembangkit listrik tenaga nuklir untuk mensuplai 20% dari total konsumsi nasional. Secara lihai, tanggung jawab terhadap kegagalan di Fukushima dituduhkan kepada pengelola utama yaitu Tokyo Electronic Power Company (TEPCO) atas kelalaiannya dalam antisipasi kebocoran radiasi serta efek dari penghematan anggaran yang berimbas negatif pada faktor keselamatan publik.
Ada spekulasi bahwa Abe ingin mengamankan rencananya untuk meneruskan program ekspor teknologi pembangkit listrik tenaga nuklir. Hal ini dikaitkan dengan kesepakatan senilai USD 20 milyar untuk pembangunan fasilitas reaktor nuklir di Turki, sebuah negara yang juga rawan gempa, oleh kerjasama pelaku bisnis global seperti Hitachi, Toshiba dan Mitshubisi. Abe juga telah meyakinkan Komite Olimpiade Internasional bahwa penanganan radiasi pasca kebocoran di Fukushima telah dilaksanakan dengan baik, meskipun bukti menunjukkan radiasi pada air tanah masih belum sepenuhnya hilang bahkan hingga pertengahan 2016 di sekitar area terdampak. Di lain sisi, Abe juga dihadapkan pada masalah baru terkait skandal pembangunan fasilitas Olimpiade Tokyo 2020 yang dilaporkan over budget dan adanya konspirasi pemenangan tender.
Sumber :
Abe’s Faltering Efforts to Restart Japan, Jeff Kingston, Majalah Current History, September 2016.