Bagaimana Jepang akan siasati mahalnya pendidikan tinggi?

Jejak sejarah menorehkan catatan khusus bahwa bangsa Jepang sangat mengutamakan pentingnya pendidikan. Kala itu, setelah Jepang menyatakan kalah pada Perang Dunia II, Kaisar segera memerintahkan untuk menghitung jumlah guru yang masih hidup, guna mendorong kebangkitan bangsanya yang terpuruk akibat perang. Namun kini, 70 tahun lebih setelah peristiwa tersebut berlalu, Jepang kembali dihadapkan masalah pelik dalam pendidikan. Di tengah menurunnya populasi penduduk usia produktif dan anak-anak, jumlah calon mahasiswa baru yang terpaksa harus memendam minatnya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena kendala finansial keluarga cenderung bertambah.

Pada bulan Oktober 2017 ini, Jepang telah menggelar pemilihan anggota legislatif parlemen pusat. Partai penguasa pemerintahan, serta beberapa partai lainnya, termasuk oposisi, sepakat mengusung wacana untuk mewujudkan jenjang pendidikan tinggi yang bebas biaya. Meskipun tidak bisa serta merta meng-gratis-kan keseluruhan proses perkuliahan, namun dalam pidato politiknya pada Januari lalu, Perdana Menteri Shinzo Abe telah menyisipkan pesan tentang urgensi pengurangan biaya pendidikan tinggi guna membantu calon mahasiswa berpotensi namun terkendala biaya.

Di Jepang, biaya yang dibutuhkan untuk kuliah di universitas negeri mencapai JPY 540 ribu, pada universitas swasta JPY 870 ribu per tahun. Pada jurusan kedokteran medis, biaya yang dibutuhkan selama enam tahun kuliah dapat menembus jumlah puluhan juta yen. Angka ini, jika dibandingkan dengan kondisi di Eropa maupun Amerika yang sudah memberikan beasiswa dan subsidi, sangatlah membebani keuangan rumah tangga keluarga Jepang pada umumnya.

Kondisi saat ini, setengah dari mahasiswa Jepang memilih mekanisme pinjaman (loan) dalam menempuh kuliahnya. Namun tidak sedikit kasus yang timbul dalam proses pembayaran hutang setelah sang mahasiswa lulus karena kesulitan biaya. Sehingga, wacana untuk menjadikan pendidikan tinggi gratis menjadi salah satu solusi yang cukup menjanjikan.

Namun, jika pendidikan pada jenjang atas (SMA, SMK, Akademi dan Perguruan Tinggi) ini sepenuhnya gratis, dibutuhkan anggaran setidaknya JPY 3.7 miliar per tahun. Kondisi ini tentu saja memicu isu skeptis terkait beban pada anggaran negara karena kondisi neraca keuangan yang diketahui publik sudah tidak ideal, bahkan dari partai penguasa pun.

Kaji perilaku calon mahasiswa

Lalu, apa saja pilihan pemerintah? Pada kampanye lalu, Liberal Democratic Party (LDP) menjanjikan untuk meningkatkan jumlah besaran beasiswa dengan kebijakan tanpa pengembalian. Partai pendukungnya, Komeito, menyarankan untuk menambah subsidi bulanan yang saat ini berkisar berjumlah JPY 20 – 40 ribu. Kedua rencana ini, disinkronkan dengan rencana kenaikan pajak dari 8% menjadi 10% pada Oktober 2019. Sehingga, penundaan terhadap wacana ini, akan menimbulkan efek buruk pada rencana restrukturisasi fiskal negara.

Di seberang, partai oposisi yang tidak pernah menyetujui wacana kenaikan pajak, juga memberikan janji untuk mengurangi beban biaya pada pendidikan tinggi. Mereka menganggap, rencana peningkatan pemasukan negara melalui penambahan pajak hanya akan meninggalkan beban lebih awal bagi generasi berikutnya. Mereka meminta LDP untuk lebih selektif dalam memberikan beasiswa maupun subsidi pendidikan hanya pada mahasiswa yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah dan benar-benar membutuhkan bantuan. Juga, rekam jejak perilaku calon mahasiswa pada jenjang pendidikan sebelumnya perlu dijadikan referensi dalam penentuan kelayakan ini.

Mekanisme pembayaran pinjaman pendidikan melalui potongan gaji setelah sang mahasiswa bekerja, seperti yang diterapkan di Australia dan Singapura, juga menjadi pilihan yang diajukan partai oposisi. Melalui jalur ini, penerima bantuan akan mulai membayar hutangnya setelah dia mendapatkan pekerjaan dan menerima gaji pada skala tertentu. Program ini, di atas kertas, sebenarnya lebih memberikan kepastian stabilisasi neraca keuangan dibanding metode beasiswa murni.

Pemerintah Jepang tentunya harus mengkaji lebih dalam tentang kebijakan yang akan diambil, terlebih adanya desakan untuk mereformasi sistem pendidikan di universitas negeri, karena muncul pemberitaan bahwa terjadi penurunan dari segi kompetitif dengan dunia internasional, serta kecenderungan penurunan jumlah calon mahasiswa universitas swasta secara drastis.

 

Sumber :

http://the-japan-news.com/news/article/0004004044 (diakses pada 28 Oktober 2017)




Leave a Reply