Premium Friday : Mengikis budaya lembur ala Karoshi di Jepang

Orang Jepang sangat terkenal dengan disiplin dan kemauannya bekerja keras. Produk dengan label Made in Japan, ataupun logo perusahaan Jepang saja, sudah menjamin kehandalan mutu serta daya tahannya. Kepercayaan konsumen terhadap kualitas ini memang tidak bertepuk sebelah tangan. Sangat jarang ditemui perusahaan Jepang yang mengumbar gaya santai layaknya perusahaan besar milik Amerika Serikat misalnya, atau bahkan penampilan CEO yang hampir tidak pernah luput dari setelan jas lengkap plus budaya tukar kartu nama.

Pola bekerja seperti ini tentulah berimbas menjadi budaya yang mungkin agak susah dinalar bagi orang asing. Kebanyakan pria Jepang yang bekerja kantoran, sudah menjadi kewajiban untuk lembur setiap harinya. Meski jam kantor kebanyakan berakhir pada jam 5 – 6 sore, namun pantang bagi mereka untuk langsung beranjak dari kantor, apalagi sebelum atasan dan pimpinannya pulang. Keluarga mereka pun akan bertanya-tanya, bahkan khawatir, jika sang kepala keluarga pulang tepat waktu atau sedikit lebih cepat, yang sering diartikan bahwa yang bersangkutan sedang bermasalah ataupun tidak dibutuhkan di kantor. Data dari Japan Institute for Labor Policy pada 2014, pekerja kantoran rata-rata lembur 49 jam selama seminggu, menjadikannya pemuncak diantara negara G7, namun dengan tingkat produktivitas terendah.

Pada Desember 2015 lalu, kembali terjadi kasus bunuh diri karyawan yang dikarenakan tekanan kerja lembur ini atau dikenal dengan istilah “Karoshi”. Tidak lama setelahnya, pimpinan perusahaan tersebut mengundurkan diri, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kelalaiannya terhadap kasus bunuh diri anak buahnya yang baru saja bergabung dalam perusahaan. Oleh karenanya, Kementrian Ekonomi, Perdagangan dan Industri kembali dengan gencar mensosialisasikan konsep Premium Friday, yaitu pulang kantor lebih awal pada hari Jumat terakhir setiap bulan.

Program ini dijadwalkan akan dimulai pada 24 Februari 2017. Khusus pada hari Jumat tersebut, para karyawan diperbolehkan pulang pada pukul tiga sore, tanpa potongan gaji seperti hari kerja lainnya. Diharapkan, selain untuk mengurangi jam lembur karyawannya, potongan waktu tersebut dapat dimanfaatkan bersama keluarga, berbelanja, ataupun sekedar bersantai di kafe maupun bioskop, dengan target jangka panjang, meningkatkan konsumsi dan perputaran uang di akhir bulan. Beberapa perusahaan besar seperti Softbank dan Toyota Motor Corp bahkan sengaja memberikan insentif lebih bagi karyawannya yang mau mengambil jatah Premium Friday ini. Perdana Menteri Abe Shinzo pun, sudah dari jauh hari memesan tiket bioskop bersama keluarga pada hari tersebut.

Namun, hanya sekitar 36 persen dari keseluruhan pekerja yang merespon positif hal ini. Meski sosialisasi sudah sangat gencar diberitakan kepada perusahaan, sepertinya masih butuh waktu lebih lama agar program ini bisa berjalan sesuai yang diharapkan. Sebelumnya, pembatasan jumlah hari kerja perseorangan telah dimasukkan dalam perundang-undangan kerja dengan menambah hari libur nasional serta cuti bersama dan “memaksa” karyawan untuk mengambil cuti tahunan, namun yang terjadi, banyak yang membiarkan jatah libur ini tetap utuh, atau dengan sengaja menukar definisi hari-hari penugasan keluar kota sebagai cuti pribadi, meskipun total gaji yang mereka terima tidaklah bertambah. Antara dedikasi yang tinggi kepada pekerjaan ataukah malu kepada keluarga jika dianggap kurang cakap dalam bekerja, yang jelas pemerintah Jepang masih memiliki PR besar untuk mengikis budaya lembur ini.

 

Sumber (diakses pada 24 Februari 2017):

http://fortune.com/2016/12/30/japan-karoshi-overwork-working-hours-friday/

http://www.japantimes.co.jp/news/2017/02/23/national/premium-friday-campaign-kicks-off-effort-boost-consumer-spending/




Leave a Reply