Angka harapan hidup yang tinggi, tentunya menjadi impian bagi semua orang, seperti yang terjadi di Jepang saat ini. Jepang sudah menyadari terbentuknya lapisan generasi masyarakat tua yang muncul akibat kondisi demografi berbentuk piramida terbalik sejak beberapa dekade lalu. Generasi masyarakat tua ini menjadikan usia manusia diatas satu abad sudah bukan hal luar biasa lagi. Kondisi ini, sebagai imbasnya, memaksa pemerintah Jepang untuk mencari strategi yang paling tepat guna mengantisipasi permasalahan yang sudah dan akan timbul di masa depan.
Perdana Menteri Shinzo Abe telah membentuk komisi khusus yang dikepalainya langsung untuk bertugas merumuskan ide-ide visioner guna menjamin masa depan negaranya dengan memvisualisasikan populasi mayoritas penduduknya berusia seabad. Komisi ini salah satunya menyasar pada persoalan sistem pendidikan konvensional dan pensiun tenaga kerja saat ini yang diyakini bakal tidak akan efektif diterapkan pada masa tersebut. Harapannya, akan muncul revolusi dalam manajemen pengolahan sumber daya manusia yang diawali dari Jepang, untuk kemudian menjadi role model bagi negara lainnya.
Professor Lynda Gratton dari London Business School yang merupakan salah satu anggota komisi ini, telah menyampaikan tiga konsep awal yang mungkin dapat diterapkan segera guna merealisasikan visi komisi khusus ini. Menurutnya, siklus hidup manusia hanya berkutat pada tiga tahap, yaitu edukasi – kerja – pensiun. Namun, seiring dengan bertambahnya harapan hidup, perulangan dari siklus ini menjadi mungkin dan butuh dikaji secara serius. Jika seorang warga Jepang, katakanlah hidup hingga usia 100 tahun, akan sangat konyol jika mereka diharuskan untuk pensiun pada usia 60 ataupun 65 tahun. Professor Gratton berpendapat, dalam kondisi ini, orang – orang layak diberikan kesempatan bekerja hingga usia 70an bahkan 80an tahun, yang tentu saja dengan mempertimbangkan faktor utama, yaitu kemampuan fisik mereka. Lebih jauh, bagi mereka yang dipekerjakan lagi ini, tidak juga dikenakan kewajiban kembali mengabdi ke perusahaan awal mereka. Juga, sesuai siklus hidup manusia, para karyawan senior ini juga perlu mendapat penyegaran edukasi setingkat level universitas.
Konsep kedua dari Gratton adalah keseimbangan sumber penghasilan rumah tangga melalui mekanisme kerja suami dan istri. Suami sebagai pencari nafkah, pada saatnya dapat bertukar peran dengan istri, sehingga terjadi kestabilan sumber finansial di rumah. Budaya Jepang yang sangat kental dengan keyakinan bahwa suami bertanggung jawab penuh mencari uang sedangkan istri menjaga rumah, telah menjadikan tingkat penyertaan pekerja wanita di Jepang sangatlah rendah jika dibandingkan negara maju lainnya. Mitos ini menjadi PR besar bagi perusahaan Jepang yang masih memandang sebelah mata terhadap karir seorang wanita, karena hampir selalu berujung pada dua pilihan simalakama, melanjutkan karir atau mengasuh anak. Opsi ini kemudian berimbas pada sisi pemerintah untuk dapat segera memperbaiki sistem pengasuhan anak yang dirasa masih kurang.
Memang, salah satu kendala besar bagi wanita karir di Jepang adalah keterbatasan tempat penitipan anak, disamping sistem asuransi pendidikan bagi anak yang besarannya cukup memusingkan, sehingga hal ini juga memicu pasangan muda untuk menunda memiliki momongan yang mengular pada masalah rendahnya tingkat kelahiran di Jepang. Para orangtua diharuskan mendaftarkan anak mereka sedini mungkin untuk mengantri di daycare yang jumlahnya terbatas agar mereka dapat kembali bekerja dengan tenang setelah masa cuti melahirkan selesai.
Ide ketiga dari Gratton berhubungan dengan re-edukasi, yaitu sebisa mungkin menambah keterampilan dan pengetahuan para pekerja senior ini agar dapat selaras dengan kemajuan teknologi. Re-edukasi ini menjadi krusial karena kecepatan perkembangan jaman seringkali tidak dapat diikuti oleh mereka yang telah larut dalam pola kerja keseharian, sehingga pada saat seseorang berusia 70an tahun akan berkarir lagi, maka mereka perlu disegarkan kembali guna menunjang inovasi di tempat kerja.
Gratton meyakini, pemerintah Jepang akan menerima protes terkait kebijakan yang nantinya akan dihasilkan oleh komisi khusus ini. Para generasi tua sekarang yang tengah menikmati pensiunnya tentu akan menentang rencana “kembali bekerja” ini, mengingat mereka telah sedemikian keras membanting tulang di usia produktifnya. Namun, jika hal ini tidak ditanggapi dengan serius, beban generasi berikut akan semakin berat karena selain menanggung biaya hidup mereka sendiri, ada lapisan generasi senior yang tetap membutuhkan sokongan dana disamping uang pensiun mereka.
Sumber :
http://sp.yomiuri.co.jp/editorial/20170912-OYT1T50118.html (diakses pada 14 September 2017)
http://the-japan-news.com/news/article/0003938195 (diakses pada 14 September 2017)