Korea Utara sudah menjadi ancaman bagi Jepang sejak beberapa dekade lalu, dan hingga saat ini, belum pernah ada solusi yang tepat untuk mengatasinya. Masalah inilah yang sepertinya menjadi alasan kuat PM Shinzo Abe untuk bertemu presiden Amerika Serikat Donald Trump, hanya selisih hitungan hari sejak hasil pemilihan presiden diumumkan guna meyakinkan aliansi pertahanan Jepang – Amerika.
Kekhawatiran Abe bukannya tidak berdasar; uji coba misil Korut sudah seringkali mencapai teritorial Jepang. Bahkan pada 6 Maret lalu, saat Korut meluncurkan empat misil dan tiga diantaranya jatuh di Zona Ekonomi Eksklusif Jepang yang jaraknya kurang dari 200 nm dari kota Oga, Prefektur Akita. Tak lama setelahnya, pemerintah kota tersebut mengadakan latihan evakuasi darurat yang pertama di Jepang dalam menghadapi ancaman misil Korut mendatang.
Sementara itu, Wakil Presiden Amerika Serikat, Mike Pence, dalam kunjungannya ke Tokyo beberapa waktu lalu, PM Abe diyakinkan bahwa Amerika seratus persen bersama Jepang dalam masalah Korut. Meski menurut para ahli hukum, setidaknya ada tiga solusi yang ditawarkan untuk ancaman ini, namun kesemuanya berujung pada masalah baru.
Jepang sebenarnya sudah mempercayakan urusan pertahanan negaranya kepada militer Amerika sejak kalah di Perang Dunia II. Namun, perkembangan kondisi di semenanjung Korea memaksa Jepang untuk mentransformasi pasukan beladirinya (Self Defense Force) guna menghadapi ancaman Korut. Hal ini sebenarnya memang bertentangan dengan Undang-Undang Konstitusi Negara yang selama ini selalu menjadi isu panas di Parlemen Jepang, hingga akhirnya Kabinet Abe menyetujui pengembangan kemampuan pasukan SDF untuk turut dalam misi perang di bawah bendera Pasukan Perdamaian PBB. Terbaru, Abe mengangkat topik adanya kemungkinan pihak Korut meluncurkan rudal berhulu gas sarin beracun, yang tentu saja semakin memanaskan wacana penambahan anggaran pertahanan Jepang. Jika anggaran pertahanan Jepang meningkat, para pengamat militer bersepakat bahwa China dan Korea Selatan akan segera bereaksi, mengingat trauma perang di masa lalu atas keagresifan pasukan Jepang selama periode penjajahan.
Meskipun sebenarnya Jepang sudah memiliki sistem anti rudal SM-3 dan Patriot PAC-3, sebagai opsi kedua yang mungkin dipertimbangkan Jepang adalah meminta Amerika menggelar sistem anti rudalnya, Terminal High Altitude Area Defense (THAAD), sebagaimana yang telah dilakukan di Korea Selatan. Namun kembali, hal ini diprediksi akan memicu protes dari China, rival abadi Jepang, sebagaimana yang dilakukan negeri Tirai Bambu tersebut saat Amerika menggelar sistem tersebut di Korsel. Kekhawatiran China sangatlah pantas, karena sistem THAAD ini tidak dilengkapi hulu ledak, namun memiliki radar yang diprediksi mampu memetakan kekuatan sistem anti rudal China, yang tentunya akan menjadi keuntungan bagi Amerika dalam menghadapi ancaman konfrontasi di masa depan.
Opsi terakhir adalah jalur diplomatik. Tujuan akhir Jepang memang menghilangkan segala hal berbau nuklir di Semenanjung Korea, dan hal ini tentunya akan memicu beberapa kompensasi, seperti melegalkan pemanfaatan energi nuklir untuk pembangkit listrik. Tetapi, adanya masalah penculikan warga Jepang di masa lalu oleh Korut seakan menghapus kemungkinan bahwa kedua negara ini dapat duduk damai saling menerima satu sama lain. Meskipun jika Korut setuju untuk mengembalikan semua tahanan warganya, namun jika melihat kepemimpinan Kim Jong Un selama ini, sepertinya Jepang perlu mencari opsi keempat dengan segera.
Sumber :
http://edition.cnn.com/2017/04/21/asia/japan-north-korea-options/ (diakses pada 29 Mei 2017)