Pada akhir minggu ketiga bulan September kemarin, Parlemen Jepang akhirnya meloloskan amandemen RUU Pertahanan Jepang yang diusung oleh PM Shinzo Abe dari Liberal Democratic Party (LDP), dan telah menimbulkan gelombang unjuk rasa penolakan di seluruh negeri, bahkan hingga saat tulisan ini dibuat.
Setelah kekalahan saat Perang Dunia II, Jepang secara konstitusional memang tidak memiliki kekuasaan penuh atas pertahanan negaranya, yang mendasari konsep Self-Defense Forces bagi pasukan “tentara”nya (JSDF). Bahkan, menurut UU pertahanan negara saat itu, bisa dikatakan Jepang sangat bergantung pada perlindungan dari Amerika Serikat, yang memungkinkan pemerintah AS untuk menggelar pasukannya serta memiliki beberapa pangkalan militer strategis Jepang, terlepas dari adanya latar belakang politis dibaliknya. Namun ekskalasi ketegangan di Semenanjung Korea (terutama yang dipicu oleh Korea Utara) serta aktivitas Cina yang mulai mengklaim kepemilikan terhadap beberapa pulau yang menjadi sengketa di perbatasan membuat PM Abe semakin yakin bahwa Jepang perlu meningkatkan kekuatan pasukannya, baik secara konstitusional maupun daya tempur.
Gambar 1. 10 Poin Amandemen RUU Pertahanan
Perubahan mendasar pada RUU Pertahanan kali ini adalah pada konsep “Collective Self-Defense”, yang menegaskan bahwa JSDF dapat menggunakan kekuatan tempurnya guna melindungi sekutu-nya. Pada UU sebelumnya, jika pasukan AS sebagai sekutu Jepang mendapat serangan dari musuh, maka JSDF tidak dapat memberikan dukungan selama serangan tersebut tidak mengancam negara Jepang secara langsung. Namun dengan RUU baru ini, JSDF mendapatkan haknya untuk mengambil tindakan, termasuk menjaga keamanan rute kapal minyak dari Timur Tengah, yang kemudian memicu penolakan dari warga Jepang sendiri.
Gambar 2. Aplikasi konsep “Collective Self-Defense”
Penolakan sejenis ini sebenarnya sudah terjadi pada kisaran tahun 1992, yaitu kali pertama JSDF turut bergabung dalam pasukan perdamaian PBB; kemudian pada 2004, disaat parlemen menyetujui pengiriman pasukan JSDF ke Irak dalam misi rehabilitasi infrastruktur. Sebagaimana diuraikan di awal, bahwa sejak berakhirnya PD II, Jepang telah mendeklarasikan diri sebagai negara damai/anti perang. Hal ini sangat tercermin dari kehidupan masyarakatnya yang begitu trauma atas penderitaan yang ditimbulkan sebagai akibat PD II. Bagi mereka, amandemen kali ini akan meningkatkan kekhawatiran bahwa Jepang akan kembali terlibat koalisi dan kembali ikut perang seperti 70 tahun lalu. Mereka percaya bahwa dengan keikut-sertaan Jepang pada operasi militer di luar negeri, terutama dengan AS, akan menjadikan Jepang sebagai target kelompok ekstremis anti Amerika. Selain itu, kalangan tua juga khawatir munculnya kembali “wajib militer” ditengah menurunnya populasi penduduk Jepang saat ini. The Japan Communist Party, sebagai pihak oposisi dalam parlemen Jepang saat ini, terus menggunakan isu andalannya guna menyerang kebijakan PM Abe pada amandemen RUU, yaitu apakah Pemerintah akan (kembali) mengirim generasi mudanya untuk mati di medan perang; serta mengangkat keberpihakan pemerintah yang pro-AS.
http://www3.nhk.or.jp/news/web_tokushu/2015_0924.html