Adanya referendum terhadap UU Pertahanan Negara Jepang pada 2014 dan 2015 yang memungkinkan Jepang bergabung dalam misi pengamanan wilayah regional, telah memberikan angin segar bagi perkembangan Industri Strategis Pertahanan Jepang. Selama ini, produsen produk militer dalam negeri Jepang hanya memiliki satu konsumen, yaitu Japan Self Defense Force (JSDF), yang menjadikan produk-produknya menjadi luar biasa mahal dan kurang bisa bersaing di pasaran.
Kondisi ini juga tercermin dalam kenyataan bahwa juga terdapat monopoli intern oleh produsen tertentu yang menyokong logistik militer JSDF, termasuk alokasi dana untuk litbang dan pemeliharaan alutsistanya, sehingga iklim kompetisi diantara pelaku industri pun masih terkekang adanya hierarkis. Beberapa contoh produsen besar tersebut adalah Mitsubishi Heavy Industries (MHI), Kawasaki Heavy Industries (KHI) dan Fuji Heavy Industries (FHI). Kemudian disusul beberapa produsen sekunder yang juga kebanyakan didominasi oleh supplier asing dari Amerika Serikat. Di ring tiga, ada IHI Corporation, Mitsubishi Precision, Mitsubishi Electric, Shimadzu Corporation, NEC, Japan Aerospace, Hitachi Kokusai Electric, Sumisho Corporation, serta Japan Radio, yang kesemuanya bersaing guna memperebutkan sisa kontrak dari produsen utama.
Kapabilitas dari keseluruhan industri ini memang sudah terbukti kehandalannya. Terlepas dari harga produk yang mahal, terutama sejak tahun 2000, sebut saja pengembangan kapal selam tipe MHI/KHI Soryu, main battle tank MHI tipe 10 dan pesawat angkut KHI C-2 serta intai maritim KHI P-1 MPA telah menjadi bukti bahwa industri pertahanan Jepang memiliki kekuatan tersendiri, terlebih di medan tempur darat(JGSDF) dan laut(JMSDF). Untuk ranah udara, pesawat yang dioperasikan JASDF masih didominasi buatan Amerika Serikat. Pun, seiring perkembangannya, JASDF mampu menggaet industri pertahanan dalam negeri dalam litbang dan pemeliharaan sistem persenjataan, avionic, radar, sistem kontrol dan komunikasi serta unmanned system dalam proses alih teknologi.
Dengan adanya referendum UU Pertahanan serta visi dari Parlemen yang memungkinkan bagi pelaku industri pertahanan Jepang untuk mengekspor produknya, tantangan yang dihadapi adalah kesiapan menghadapi perang harga dan performa. Beberapa analis industri pertahanan menyatakan bahwa, perubahan ke arah ini memang akan membutuhkan waktu yang lama dan berjenjang, sehingga titik awal mula restrukturisasi akan menjadi tonggak yang krusial. Terutama dalam rantai produsen primer dan sekunder, beberapa langkah yang mungkin dapat dijadikan alternative diantaranya adalah rasionalisasi dan perampingan proses litbang serta produksi; eksplorasi terhadap segala peluang konsolidasi dan merger industri; ujicoba penerapan teknologi skala sipil ke standar militer; menjajaki peluang kolaborasi dengan perusahaan internasional; serta menjajal peluang ekspansi global melalui pendirian cabang perusahaan dan investasi asing secara langsung. MHI, sebagai produsen terbesar, pada 2013 – 2014 telah menerapkan Integrated Defense & Space System (IDSS) guna menyokong efisiensi dan perampingan produksi sumber daya. KHI juga melakukan langkah serupa dengan restrukturisasi fasilitas pabrik pesawatnya guna produksi massal pada tipe C-2 dan P-1. Hal ini diaminkan oleh pihak Ministry of Defense (MoD Japan) seperti yang dituangkan dalam “Strategy on Defense Production and Technological Bases”, 2014.
Sumber :
Defense White Book (http://www.mod.go.jp/j/publication/wp/)
ihs.com/janes
Wikipedia