Pada Februari 2013, momen pertama kalinya Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, mengunjungi Washington semenjak kesuksesannya kembali berkuasa dalam naungan Liberal Democratic Party (LDP), mengatakan “Saya telah kembali, begitu juga (dengan) Jepang”. Saat itu, Abe, dengan penuh percaya diri mendeklarasikan pembaruan nasional untuk negaranya, sambil bertekad menghapus pandangan sebagai negara maju sekunder.
Abe menjabat tepat sesaat setelah tiga bencana alam besar sekaligus melanda Jepang pada pertengahan Maret 2011, yaitu gempa bumi yang disusul oleh tsunami hingga mengakibatkan kebocoran pembangkit listrik tenaga nuklir; disamping juga resesi ekonomi berkepanjangan semenjak awal 1990an. Ketegangan politik dan masalah perbatasan negara dengan Cina serta tekanan reformasi pada aliansi dengan Amerika Serikat turut menambah beban disamping masalah demografi dalam negeri yang semakin mengerucut, yaitu penduduk yang menyusut dan menua. Meski sebenarnya, Abe terpilih bukan karena program pemerintahannya, yang cenderung ingin mengangkat kejayaan jaman Perang Dunia serta konstitusi negara; melainkan ketiadaan calon lain yang lebih mumpuni daripadanya.
Pada satu sisi, dikenalkannya program ekonomi dengan tajuk Abenomics kala itu cukup menjanjikan prospek bagi perbaikan keuangan negara yang terus dibayangi oleh deflasi parah selama dua dekade. Kebijakan ekonomi Jepang ala Abenomics intinya meliputi tiga kebijakan, yaitu kemudahan birokrasi moneter, peningkatan sektor fiskal dan reformasi struktural. Paket ekonomi pertama diluncurkan oleh Bank of Japan (BoJ) pada 2013 dengan mengguyur lebih dari USD600 milyar berupa obligasi pemerintah dengan harapan dapat menaikkan nilai inflasi hingga dua persen per tahun. Secara teori, dengan bertambahnya pengeluaran per kapita, perputaran uang akan lebih deras, peningkatan laba perusahaan dan kembali kepada kenaikan gaji karyawan sehingga memicu pergerakan ekonomi yang lebih sehat, yang juga berarti harus merubah psikologis orang Jepang yang gemar menabung dan berhemat.
Namun fakta menunjukkan hal yang berbeda. Upah karyawan, pendapatan sektor jasa, investasi maupun produk industri cenderung stagnan, pada angka 3.5 persen GDP dalam kurun 2014 – 2015, menjadikannya yang terendah sejak era paska Perang Dunia. Meski nilai tukar Yen sempat menguat pada kisaran JPY100 per dolar Amerika, namun hal ini menurut para pakar lebih dikarenakan melambatnya perekonomian global yang dipicu oleh menurunnya perdagangan China. Hingga pada Juli lalu, paket ekonomi tahap dua sebesar USD265 milyar kembali dikucurkan oleh Abe dengan harapan dapat segera menarik kelesuan ekonomi.
Kendati demikian, ekonomi Jepang masih dalam kondisi yang cukup rentan. Penundaan rencana kenaikan pajak dari delapan menjadi sepuluh persen, rencana reformasi struktural yang implementasinya masih samar (penambahan lapangan kerja bagi wanita karir, pembukaan bidang kerja bagi imigran negara konflik, serta keterbatasan prospek kelanjutan karir) diduga menjadi pemicu utama keengganan para pelaku ekonomi untuk saling bergerak.
Sumber :
Abe’s Faltering Efforts to Restart Japan, Jeff Kingston, Majalah Current History, September 2016.