Pada tanggal 27 – 28 Agustus 2016, telah diselenggarakan the 6th Tokyo International Conference on African Development (TICAD VI) di ibukota Kenya, Nairobi. Meskipun even lima tahunan ini sudah lima kali diselenggarakan, namun konferensi kali ini adalah yang pertama kalinya digelar di benua Afrika, yang merupakan salah satu hasil keputusan TICAD V di Yokohama pada 2013. Even kali ini juga semakin istimewa karena Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, juga turut langsung berpartisipasi bersama ratusan CEO perusahaan Jepang untuk menunjukkan keseriusan mereka dalam meningkatkan kerjasama dengan negara Uni-Afrika.
Memang, persaingan investasi secara global di Afrika menjadi tantangan bagi Jepang yang timbul dari negara dengan kekuatan super-ekonomi, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan terutama China. Jika dibandingkan dengan China, Jepang masih kalah jauh dalam hal besaran investasi yang dilakukan di benua hitam itu. Di Kenya saja misalnya, hanya ada 43 perusahaan berbendera Jepang yang beroperasi, sedangkan China sudah jauh mengungguli dengan total 400an perusahaan besar maupun korporasi kecil. China juga ‘telah’ menginisiasi forum serupa dengan konferensi tiga tahunan Forum on China – Africa Cooperation (FOCAC) yang sejak tahun 2000 sudah menjalankan kerjasama pembangunan, tindakan preventif terhadap pandemik serta pertukaran pelajar. Di tahun 2013 saja, Presiden China, Xi Jianping telah menawarkan USD 60 miliar bagi Afrika, melampaui hampir dua kali nilai investasi Jepang di tahun yang sama.
Di Afrika sendiri, terhitung sejak tahun 1993 setelah berakhirnya era Perang Dingin, ketika negara-negara Barat mulai mengalihkan sasaran mereka ke daerah Eropa Timur, Jepang-lah yang kemudian mengambil alih posisi dengan membentuk TICAD. Berdasar data International Monetary Fund (IMF), pertumbuhan ekonomi global di Afrika menunjukkan degradasi sebesar 3,5 % pada 2015, yang merupakan penurunan terparah dalam kurun 15 tahun ini, terlebih karena imbas jatuhnya harga minyak dunia terhadap negara – negara utama penghasil minyak seperti Angola dan Nigeria. Belum lagi masalah infrastruktur yang menjadi kendala utama serta sumber daya manusia, dimana masalah korupsi dan konflik politik berujung pada perebutan kekuasaan masih menjadi tantangan bagi pelaku usaha Jepang untuk melebarkan sayapnya di Afrika. Tentu saja dengan rekam jejak pembangunan infrastruktur dan etos kerja orang Jepang yang terkenal dengan disiplin dan pantang menyerah, para pemimpin negara Afrika akan berebut simpati agar dana dan campur tangan Jepang segera tiba di wilayah mereka.
Bagi Jepang sendiri, sebenarnya ada tujuan tersembunyi dibalik kesemua rencana yang telah digelar sejak TICAD I pada tahun 1993. Jepang telah membaca bahwa Afrika dengan segala kelebihan sumber daya alamnya adalah pasar masa depan dengan potensi pertumbuhan gemilang jika diolah dengan benar, terutama di sektor industri. Masalah kelaparan dan kemiskinan, serta konflik keamanan yang ditimbulkan oleh Boko Haram, jaringan IS maupun Al Qaeda melalui kelompok Al-shabaab juga mendapatkan perhatian dengan dideklarasikannya peningkatan kerjasama penanggulangan teroris dan garis batas maritim, disamping rencana kucuran dana sebesar USD 30 miliar dalam kurun tiga tahun kedepan sebagai kesepakatan puncak TICAD VI.
Selain itu, Jepang juga mengincar simpati dari negara – negara Afrika guna mewujudkan tujuan politisnya menjadi anggota Dewan Keamanan PBB. Uni Afrika semakin menunjukkan peran aktifnya dalam urusan internasional sejak terbentuknya Liga Afrika pada 2002, dan hal ini menjadi incaran Jepang dalam membentuk citra positif negaranya melalui bantuan ekonomi dan infrastruktur. Harian ekonomi Nikkei Shinbun merangkum bahwa pada awal tahun fiskal 2017, pelaku industri otomotif Jepang sudah bersiap meningkatkan invstasinya di angka JPY 44 miliar, diantaranya Yamaha yang akan memulai produksi sepeda motor di Nigeria, Datsun akan melipatgandakan dealernya di Afrika Selatan, bersamaan dengan pengembangan jenis Toyota Hi-Ace yang disesuaikan dengan konsumen di negara tersebut. Kenya mendapatkan bagian dari Mitsubishi Fuso berupa ketersediaan traktor dan alat berat baru, sejalan dengan Hino yang akan memulai penjualan produknya di Pantai Gading. Serbuan pengusaha Jepang ini sengaja diselaraskan dengan cetak biru Agenda 2063 negara Uni Afrika, demi memperoleh dukungan dalam upayanya menjadi anggota berpengaruh di PBB.
Sumber :
Harian Nikkei Shinbun, tanggal 9 September 2016
http://www.japantimes.co.jp/news/2016/08/29/national/politics-diplomacy/nairobi-declaration-japan-african-nations-vow-fight-terrorism-stress-rule-based-maritime-order/ ; diakses pada 15 September 2016
www.mofa.go.jp/mofaj/gaiko/oda/files/000157554.pdf
archive.au.int/assets/images/agenda2063.pdf