Pemerintah Jepang akhirnya melegalkan bisnis persewaan kamar maupun rumah yang dikelola perorangan maupun yang teroganisir melalui jaringan berbasis aplikasi online. Aturan ini mengatur dengan rinci bagi mereka yang mau menyewakan kamar atau sebagian rumah maupun seluruh propertinya, disebut Minpaku Law, dan diharapkan dapat berlaku efektif mulai Juni 2018.
Berdasar data saat ini, dari 15 ribu penyedia jasa penginapan yang terdaftar, dalam situs sewa penginapan di Jepang, sebanyak 30 % diantaranya menjalankan bisnis mereka secara ilegal. Hal ini memang tidak dapat dipungkiri, karena regulasi yang dipakai dalam menjalankan usaha ini masih berdasar pada aturan bisnis untuk perhotelan.
Saat ini, kemajuan teknologi telah mempermudah calon konsumen untuk menemukan penginapan melalui situs pencari kamar yang memiliki basis data sesuai dengan tujuan serta keinginan pengunjung. Bahkan, hal ini sangat membantu bagi mereka yang ingin mendapatkan harga kamar murah dengan fasilitas secukupnya, termasuk menjaring wisatawan dari luar negeri.
Kondisi ini menggerakkan pemerintah Jepang untuk sesegera mungkin melegalkan aturan minpaku ini, dengan mewajibkan para pengelola situs mendaftarkan basis data dalam jaringannya kepada pemerintah daerah setempat. Registrasi ini akan digunakan oleh pemda dalam menerapkan kebijakan, salah satunya dengan membatasi jumlah hari operasional yang diijinkan dalam bisnis ini, yaitu maksimal 180 hari per tahunnya.
Kenapa dibatasi?
Sudah banyak pemda yang menerima laporan dari masyarakat terkait masalah bisnis penginapan lokal ini. Isu tentang gangguan ketenangan lingkungan serta pengelolaan sampah yang buruk menjadi persoalan utama yang sering dikeluhkan kepada pemda. Mayoritas penduduk khawatir, jika terus dibiarkan, bisnis penginapan perorangan ini akan memberikan dampak buruk terhadap lingkungan baik secara langsung maupun sosial.
Awalnya pemerintah berencana merevisi aturan perhotelan yang sudah ada mengingat semakin menjamurnya jasa penyedia kamar inap ini yang beroperasi secara ilegal. Pokok masalah yang direvisi kebanyakan terkait tentang tarif inap, kemudian disusul dengan kajian amdal. Beberapa pemda juga sudah merencanakan pembatasan terhadap jumlah penyedia jasa penginapan ini jika kerusakan lingkungan maupun kondisi sosial masyarakat dirasa tidak kondusif lagi. Sebaliknya, para pengelola situs penyedia jasa diharapkan dapat memberikan informasi yang jelas kepada calon konsumen tentang aturan selama menginap serta menerapkan standar minimal kepada penyedia jasa dalam mengelola fasilitas propertinya.
Pemerintah Jepang menargetkan kunjungan 40 juta wisatawan pada 2020, tahun dilaksanakannya Olimpiade Tokyo, yang berarti kenaikan sebesar 60 % dari tahun 2016 lalu. Terbatasnya jumlah hotel diharapkan dapat ditutupi oleh jasa penyedia penginapan perorangan ini. Kegiatan bisnis ini sudah menjadi sektor utama penghasil devisa di beberapa negara Eropa dan kota – kota di Amerika Serikat. Kini, pemerintah Jepang hanya perlu lebih cermat dalam menerapkan regulasi yang jelas, agar bisnis ini dapat segera menjadi pilar penyokong pertumbuhan ekonomi negeri sakura ini.
Sumber :
http://the-japan-news.com/news/article/0003784420 (diakses pada 10 Juli 2017)