MENJARING PELUANG IMPOR ALUTSISTA LAUT DARI NEGERI SAKURA

oleh : Firson Asis Wicaksono dan Ardiansyah Putra Ramadhan

Semenjak terpilih menjadi Perdana Menteri (PM) Jepang, Yoshihide Suga memilih Indonesia sebagai prioritas pertama lawatan luar negerinya dengan mengunjungi Presiden RI Joko Widodo pada 20 Oktober 2020 silam. Seperti yang diberitakan oleh media massa, setidaknya ada lima poin yang menjadi kesepakatan bersama dalam pertemuan ini yaitu kerjasama dalam penanganan SARS CoViD-19, pembukaan Travel Corridor Arrangements (TCA) untuk pebisnis, relokasi dan perluasan investasi perusahaan Jepang di Indonesia, pinjaman sebesar 50 Miliar Yen (sekitar 6,8 Trilyun Rupiah) untuk peningkatan kapabilitas penanggulangan bencana, dan yang terakhir peningkatan kerjasama pertahanan. Yang menarik untuk disimak dari poin peningkatan kerjasama pertahanan ini adalah Jepang mendukung ASEAN Outlook on the Indo-Pacific yang dipelopori Indonesia karena dinilai memiliki kesamaan fundamental dengan visi Indo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka, atau yang biasa disebut Free and Open Indo-Pacific (FOIP).
Niat untuk meningkatkan kerjasama pertahanan ini rupanya langsung ditindaklanjuti oleh kedua belah pihak. Meskipun kedua negara sepakat akan mengadakan pertemuan two plus two dalam waktu dekat, Menteri Pertahanan kedua negara berinisiatif mengawali dengan mengadakan video conference pada 02 November 2020 dalam rangka bertukar pandangan tentang kerjasama pertahanan serta kerjasama alutsista dan teknologi. Kemudian, Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Masafumi Ishii, didampingi oleh perwakilan Industri Pertahanan Jepang pada 3 Desember 2020 berkunjung ke Kantor Kementerian Pertahanan di Jakarta untuk mendiskusikan kemungkinan kerjasama industri strategis pertahanan (indhan) dengan Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto. Dikutip dari media massa Jepang bahwa terdapat kemungkinan melaksanakan kerja sama indhan untuk mengekspor kapal perang terbaru milik JMSDF jenis Frigate atau biasa disebut FFM (Future Frigate Multimission) sebanyak 8 buah dengan opsi pembangunan secara lokal di dalam negeri senilai 300 Miliar Yen (40,5 Trilyun Rupiah).

Kepentingan Jepang terhadap Indonesia

Langkah Jepang yang gencar melakukan pendekatan kerjasama pertahanan maupun industri pertahanan dengan Indonesia, salah satunya disebabkan oleh hubungan bilateral antara Jepang dan Tiongkok yang semakin menurun di dekade terakhir. Di satu sisi, Pemerintah Tiongkok menyalahkan sikap Jepang yang menolak untuk mengakui kejahatan perangnya di masa Perang Dunia II. Di sisi lain, menurunnya hubungan tersebut menurut Pemerintah Jepang disebabkan oleh langkah Tiongkok atas usaha ekspansi yang dilakukan Angkatan Bersenjatanya di wilayah Laut Cina Timur dan Laut Natuna Utara. Mendinginnya hubungan bilateral kedua negara tersebut memaksa Jepang untuk mengambil langkah preventif dengan cara memperluas pengaruhnya terhadap negara – negara yang berbatasan langsung dengan Tiongkok. Hal ini terbukti dari negara – negara yang menjadi sasaran penawaran ekspor alutsista selain Indonesia, yaitu India, Thailand, Filipina, Vietnam, Australia, dan Selandia Baru.
Sebagai kekuatan ekonomi nomor tiga dunia, Jepang banyak bergantung kepada armada kapal niaga yang mengekspor berbagai produk hasil manufakturnya seperti kendaraan bermotor, peralatan elektronik, alat berat, alat tulis, hingga bumbu masak sekalipun. Selain itu, sebagai negara tanpa Sumber Daya Alam (SDA) yang berarti, Jepang juga mengandalkan jalur laut untuk mengimpor sebagian besar SDA seperti minyak dan uranium dari Timur Tengah, serta timah dan gas alam dari Indonesia. Sebagian besar armada kapal niaga yang menjadi tumpuan utama ekonomi Jepang tersebut berlayar melewati Laut Cina Timur dan Laut Natuna Utara yang saat ini sedang diklaim oleh Tiongkok, sehingga Jepang berusaha keras merealisasikan Free and Open Indo-Pacific (FOIP) salah satunya dengan cara memperkuat alutsista negara – negara yang terlibat sengketa dalam klaim sepihak Tiongkok di Indo Pasifik.
Penawaran FFM kepada Indonesia juga merupakan salah satu upaya menurunkan harga perunit kapal tersebut. Alutsista buatan Jepang secara umum dilengkapi dengan teknologi yang sangat mutakhir, namun memiliki harga yang tinggi. Ambil contoh pesawat tempur Mitsubishi F – 2 yang dibuat berdasarkan pengembangan dari pesawat tempur terlaris di dunia, F – 16 buatan Amerika Serikat. Pesawat F – 2 produksi Mitsubishi Heavy Industries ini dibanderol seharga 127 juta dollar AS (1,8 trilyun rupiah) atau sekitar empat kali harga F – 16. Begitu juga dengan Radar J/FPS-3ME dan J/TPS-P14ME yang berhasil diekspor ke Filipina. Keempat Radar yang berhasil diekspor tersebut memiliki harga yang setara dengan lima Radar TPS 77 buatan Lockheed Martin. Tingginya harga alutsita yang ditawarkan Jepang disebabkan oleh biaya tenaga kerja yang tinggi, sedikitnya kompetisi antara sektor industri pertahanan, dan kebiasaan industri pertahanan Jepang dalam membuat spesifikasi alutsita yang jauh mengutamakan kualitas dibandingkan kuantitas. Oleh karena itu, Jepang merasa perlu untuk lebih memasarkan produknya ke kancah pasar alutsista internasional. Secara teori, jika industri pertahanan Jepang mampu mendapatkan untung dari hasil penjualan alutsistanya, maka otomatis akan menurunkan harga perunit, sehingga Jepang dapat mengalihkan anggaran pertahanannya ke sektor pengembangan teknologi militer seperti kapal selam bertenaga baterai lithium-ion, pesawat tempur siluman generasi ke – 6, dan rudal hypersonic anti kapal permukaan.

Menangkap Peluang dari Negeri Sakura

Frigate 30FFM JS Kumano diluncurkan Mitsui E & S Shipbuilding Co., Ltd di Okayama, Jepang pada 19 November 2020.Frigate 30FFM JS Kumano diluncurkan Mitsui E & S Shipbuilding Co., Ltd di Okayama, Jepang pada 19 November 2020Bagi Indonesia, kerja sama Indonesia dan Jepang bukanlah sesuatu yang baru. Indonesia dan Jepang telah memiliki rekam jejak sejarah kerja sama bilateral dalam berbagai bidang yang memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Adapun poin-poin yang memungkinkan kedua negara untuk melaksanakan kerjasama secara komperhensif di bidang Indhan khususnya pada perolehan perangkat keras alutsista matra laut sebagai berikut :
Pertama, kegiatan investasi, bisnis dan ekonomi kedua negara merupakan bentuk simbiosis mutualisme dalam hubungan bilateral antar negara. Indonesia dan Jepang telah menandatangani Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA) yang memungkinkan penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan bilateral. Jaringan rantai pasokan global (Global Supply Chain) industri jepang di bidang kimia, elektronik, logam, dan otomotif telah terbentuk di Indonesia begitu pula dengan lembaga finansial yang telah berkontribusi dalam pendanaan kerja sama teknis, proyek dan investasi melalui JICA (Japan International Cooperation Agency). Secara umum, di level teknis tidak ada hambatan mengenai kerja sama industrial antar dua negara. Secara kultur bisnis, para pebisnis Jepang yang tergabung dalam keiretsu (konglomerasi bisnis) sangat memahami politik, etika dan kultur ketika berbisnis di Indonesia dibandingkan dengan para chaebol dari Korea Selatan.
Kedua, di bidang Alutsista, Jepang telah berhasil untuk berswasembada dalam pemenuhan kebutuhan alutsistanya. Dewasa ini, Jepang merupakan sekutu dekat Amerika Serikat di Timur Jauh bersama Korea Selatan, sehingga doktrin dan taktik Japan Self Defense Force (JSDF) saat ini mendapat pengaruh dari Amerika Serikat. Hal tersebut juga berimplikasi terhadap arah, rumusan, dan kebijakan pembangunan kekuatan JSDF. Selain itu, Jepang juga terikat perjanjian saling melindungi secara tripartite dengan Amerika Serikat dan Korea Selatan dalam sebuah hubungan spear and shield yang mensyaratkan adanya interopabilitas alutsista antar tiga negara tersebut di level operasional. Sehingga dapat disimpulkan kualitas alutsista milik Jepang saat ini secara teknologi berimbang dengan milik Amerika Serikat. Terlebih lagi reinterpretasi konstitusi yang dilakukan pada masa pemerintahan PM Shinzo Abe tahun 2014 menghasilkan kebijakan yang sangat signifikan untuk memberikan ruang lebih terhadap pembangunan kekuatan dan peningkatan kapabilitas industri pertahanan dalam negeri yang berorientasi ekspor. Hal ini merupakan peluang dan potensi bagi Indhan Indonesia untuk bekerja sama dalam penguasaan teknologi Alutsista.
Ketiga, mengambil pelajaran dari Filipina yang merupakan launch customer dari produk teknologi tinggi Industri Jepang di bidang ground base long range air surveillance radar jenis J/FPS-3ME dan J/TPS-P14ME buatan Mitsubishi Electric yang secara spesifikasi dan teknologi yang setara dengan produk TPS77 buatan Lockheed Martin. Padahal, negara pengeskpor alutsista biasanya menerapkan kebijakan kontrol senjata (arms control) yang ketat untuk memberikan batasan teknologi terhadap produk yang dijualnya kepada negara pengguna tertentu sehingga teknologi yang dijual tidak lebih baik daripada yang digunakan oleh militer negara produsen. Melihat dari Filipina, kecil kemungkinan terjadi kekhawatiran mengenai batasan kontrol senjata oleh Jepang terhadap Indonesia yang memiliki riwayat kerja sama secara komperhensif dan berkelanjutan.
Keempat, mengutip dari dokumen Doktrin Perang Laut TNI AL / Strategi Pertahanan Laut Nusantara (SPLN), secara eksplisit disebutkan bahwa Angkatan Laut membutuhkan “jangkauan strategis dan operasional untuk ditempatkan dan segera melakukan operasi di suatu zona penangkalan di luar batas negara dengan sedikit atau tanpa peringatan dini”. Sehingga TNI Angkatan Laut, secara jelas mendefinisikan enam kemampuan inti tersebut dalam Doktrin Peperangan TNI AL antara lain sebagai berikut: kemampuan kehadiran ke daerah depan, kemampuan pencegahan, kemampuan pengendalian laut, kemampuan proyeksi kekuatan, kemampuan keamanan maritim, dan kemampuan bantuan kemanusiaan. KRI sebagai salah satu elemen utama untuk melaksanakan tugas-tugas TNI AL diharapkan dapat mengakomodir kemampuan inti yang didefinisikan dalam Doktrin Peperangan TNI AL/ SPLN. Kedepan sesuai dengan perkembangan lingkungan strategis, maka TNI AL membutuhkan kekuatan Kapal (KRI dan KAL) yang mampu menghadapi setiap ancaman yang muncul dan dapat melakukan pengendalian laut yang dilaksanakan baik pada corong-corong strategis di wilayah NKRI maupun area konflik (hotspot).
Kelima, kapal frigat jenis FFM yang ditawarkan ke Indonesia tersebut didesain untuk memiliki kemampuan setara dengan Destroyer namun mampu dioperasikan oleh 100 personel pengawak, yang mana jumlah ini merupakan separuh dari jumlah yang seharusnya dibutuhkan oleh kapal sekelas Destroyer. Kapal ini juga dirancang dengan penuh otomatisasi dan dilengkapi dengan perangkat komputer kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/ AI) guna membantu pengambilan keputusan dan melaksanakan misi yang beraneka ragam, dari misi kemanusiaan, peperangan anti udara, permukaan dan kapal selam serta peperangan anti ranjau. Rancangan yang meminimalisir kendali manusia dan berbasis kecerdasan buatan akan membantu tugas pengawak kapal perang yang memiliki intensitas waktu operasi, kedisiplinan, serta ketelitian yang tinggi. Kapal perang FFM ini juga didesain untuk dapat mengoperasikan wahana otonom/drone seperti Unmanned Aerial Vehicle (UAV), Unmanned Surface Vehicle (USV), dan Unmanned Underwater Vehicle (UUV). Jepang setidaknya merencanakan pembangunan 22 jenis kapal ini, yang mana 1 buah telah selesai dibuat pada medio akhir 2020 dengan nama JS Kumano. Perolehan perangkat keras ini, merupakan kesempatan emas untuk memberikan multiplier effect selain bagi peningkatan kemampuan armada pemukul TNI AL, juga pelibatan Industri Pertahanan dalam negeri untuk bidang produksi dan tidak menutup kemungkinan pemasaran. Kemungkinan kerja sama Indhan ini akan sejalan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, dimana ditentukan bahwa dalam penyelenggaraan industri pertahanan dapat dilaksanakan melalui kerja sama luar negeri. Di sisi lain ruang lingkup kerja sama luar negeri dimaksud juga mempunyai arah sebagaimana diamanatkan dalam Undang – Undang tersebut yaitu percepatan peningkatan penguasaan teknologi pertahanan dan keamanan serta guna menekan biaya pengembangan teknologi pertahanan dan keamanan. Kesepakatan lain yang mungkin muncul akibat akuisisi seperti peningkatan pelatihan SDM TNI AL oleh Jepang dan pemberian bantuan perangkat keras (grant) kapal kombatan permukaan yang dimiliki oleh Japan Maritime Self Defense Force (JMSDF) guna mengisi kebutuhan Interim Frigate TNI AL. Selain itu, perolehan perangkat keras melalui Industri Jepang memiiliki peluang untuk dilaksanakan pembayaran secara multiyears dan fleksibel dengan menggunakan Currency Swap mata uang lokal.

 

sumber foto :

https://www.setneg.go.id/baca/index/presiden_jokowi_sambut_kunjungan_resmi_pm_jepang_yoshihide_suga_di_istana_bogor

Mitsui E&S Launches Japan’s New 30FFM Multi-Mission Frigate JS Kumano



dan di manapun berada, memberikan karya terbaik bagi masyarakat, bangsa, negara, dan dunia


Leave a Reply