Krisis demografi, JSDF longgarkan perekrutran personel

Pemerintah Jepang kian serius menanggapi masalah piramida demografi yang menghantui sejak tahun 2000an. Menurut perhitungan Kementrian Dalam Negeri, pada tahun 2060, rasio manula (diatas usia 65 tahun) meningkat hingga 40%, hampir lima kali dari jumlah anak-anak (dibawah usia 15 tahun)[1] yang tentu saja akan menimbulkan persoalan besar terhadap kelanjutan generasi pekerja yang produktif dan penerus bangsa. Salah satu komponen yang bergerak cepat mengantisipasi hal ini adalah Kementrian Pertahanan (Ministry of Defense, MoD), dengan berbagai upaya dan inovasi, guna menyiapkan pengawak pertahanan negara Jepang.

Sejak kalah pada Perang Dunia II, Jepang total merubah haluan kekuatan militernya menjadi sepenuhnya bertahan, dengan mengganti doktrin Tentara Imperialis ke dalam bentuk Pasukan Bela Diri (Self Defense Force). Munculnya matra baru dalam formasi pertahanan negara, yaitu Angkatan Udara (Air Self Defense Force) turut berperan penting, salah satunya dalam penentuan prioritas perekrutan personelnya. Saat ini, JASDF mendapat porsi yang cukup besar dalam anggaran pertahanan, mengingat situasi yang memanas di area Laut Cina Selatan dan fluktuasi ketegangan di Semenanjung Korea maupun ancaman terselubung dari Utara. Berkurangnya generasi muda dan produktif, telah memaksa pimpinan JSDF dan MoD untuk berinovasi sedemikian rupa, agar ketersediaan personel calon prajurit tetap dalam angka aman sebagai pengawak alutsista yang dikenal berteknologi tinggi.

Promosi Masif

Berbeda dengan Indonesia, banyak penduduk Jepang sendiri yang masih antipasti terhadap kembalinya militer di negaranya. MoD pun sangat berhati-hati dalam penggunaan kata “militer” maupun “tentara”, yang saat ini sudah dikhususkan untuk menyebut prajurit negara lain. JSDF pun berupaya maksimal, menunjukkan eksistensinya sebagai komponen pertahanan negara, muncul dengan sigap hanya saat diperlukan, sambil menjaga kerahasiaan setiap kegiatan harian maupun latihan rutinnya. Dalam promosi di media digital, khususnya yang berhubungan dengan perekrutan calon personel baru, terdapat sedikit perubahan nuansa, seperti yang dijelaskan oleh staf personel JASDF.[2] Jika pada akhir Perang Dingin lalu, foto kekuatan alutisista banyak ditonjolkan sebagai unjuk kesiapan menghadapi kekuatan Uni Soviet, diganti dengan penggunaan figur artis maupun tokoh masyarakat karena peminat prajurit sukarela sangat menurun. Namun upaya ini juga dinilai tidak cukup berhasil mengangkat pamor JSDF, hingga terjadi bencana tsunami di Fukushima pada Maret 2011 lampau. Dari peristiwa tersebut, citra JSDF sedikit naik, dan MoD memperoleh pelajaran bahwa pasukan JSDF masih menjadi harapan bagi masyarakat. Secara bertahap, dalam promosinya, MoD menampilkan sosok personel JSDF dalam kegiatan latihan, seperti yang telah dilihat masyarakat dalam penanganan bencana alam oleh JSDF. Bahkan, dalam laman terbarunya[3], jumlah personel wanita mendapat porsi yang lebih besar daripada pria.

Target 20%

Tahun 2016, JASDF mencetak pilot pesawat tempur wanita pertamanya. Tahun 2019, giliran Japan Maritim Self Defense Force (JMSDF) yang memberikan kesempatan kepada seorang kolonel wanita menjadi komandan kapal perang Aegis. Langkah ini disengaja untuk menarik minat para perempuan agar bergabung dengan JSDF, karena diatas kertas, target perekrutan personel pria sudah sangat susah untuk dicapai. Personel wanita JSDF sendiri, berada di angka 9%, dan ditargetkan untuk naik menjadi 20% dalam lima tahun mendatang. Meski begitu, MoD kembali dihadapkan pada masalah cuti melahirkan maupun yang harus berhenti dari dinas dengan alasan merawat anak, karena bagian ini juga mendapat prioritas khusus dari pemerintah Jepang.

“Menurunkan” batas

Langkah yang cukup berani juga telah diambil oleh JSDF dalam kebijakan perekrutan personelnya. Batas usia yang diperbolehkan mendaftar sebagai personel baru, dinaikkan hingga menjadi 32 tahun untuk perwira dengan keahlian spesialisasi. Secara fisik, batas tinggi badan pun dipangkas menjadi 155 cm untuk pria dan 150 cm untuk wanita. Kemudian, ambang Body Mass Index (BMI) pun dilonggarkan ke angka 30, dengan harapan, bahwa pembinaan fisik dapat dimaksimalkan kemudian setelah calon diterima menjadi personel JSDF. Juga, periode pembukaan werving ditambah, seperti perekrutan setingkat bintara yang awalnya hanya dua kali, menjadi tiga kali dalam setahun.

Namun, tidak semua pola yang ditempuh tersebut serta merta mendongkrak angka diatas kertas. Diakui, kemampuan akademis para pendaftar, semakin lama semakin menurun, meski telah digunakan standar soal ujian masuk yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Kekhawatiran ini cukup beralasan, karena selain MoD dengan JSDF-nya, Kementrian lain maupun swasta juga berebut mendapatkan generasi muda ini. Meski jaminan gaji JSDF sedikit lebih tinggi, namun adanya kekhawatiran lokasi kedinasan yang tersebar di seluruh negeri, serta tuntutan kerja lembur pada satuan kerja yang harus siaga senantiasa, menjadi sumber keraguan bagi mereka yang memiliki pilihan lain dengan prestasi akademisnya.

[1] https://www.soumu.go.jp/johotsusintokei/whitepaper/ja/h28/html/nc143210.html , diakses pada 9 Desember 2020.

[2] Sekolah Perwira Skuadron JASDF, Tokyo.

[3] https://www.mod.go.jp/gsdf/jieikanbosyu/ , diakses pada 9 Desember 2020




Leave a Reply