Susahnya membuang sampah di Jepang

Bagi para pendatang maupun turis yang berkunjung ke Jepang, kesan pertama yang didapat adalah bersih dan susahnya menemukan tempat sampah. Pemerintah Jepang memang menerapkan aturan yang ketat dalam urusan pembuangan sampah ini, seperti halnya Singapura dan negara maju lainnya. Alasan utama tidak lain adalah sedikitnya lahan yang tersisa untuk dijadikan tempat pembuangan sampah, sehingga prinsip 3 R yaitu Reduce (mengurangi), Reuse (pakai lagi) dan Recycle (daur ulang) sangat gencar disosialisasikan guna mendoktrin kesadaran masyarakat terhadap masalah sampah ini.

Aturan pembuangan sampah ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat, sehingga tidak jarang ditemukan perbedaan, meskipun minor, namun cukup merepotkan bagi orang Jepang sekalipun, yang pindah ke tempat baru. Setidaknya ada empat jenis sampah yang wajib dipilah oleh setiap rumah tangga sebelum dikumpulkan pada hari dan tempat pembuangan yang juga ditentukan oleh pemda. Jenis pertama adalah sampah terbakar, misalnya sisa makanan, potongan kertas, pembungkus dan lainnya. Pada beberapa daerah, ada juga yang mengharuskan memilah bungkus dengan bahan dasar plastik untuk dipisahkan tersendiri karena masih memungkinkan untuk didaur ulang.

Jenis kedua adalah sampah tidak terbakar, misalnya pecahan kaca, keramik, alat makan berbahan logam dan lainnya. Pada sampah jenis ini, termasuk paling susah pemilahannya dan petugas sampah pun terkenal sangat teliti sebelum menerima sampah tersebut untuk diangkut ke pembuangan akhir. Ambil contoh jika kita membuang payung rusak, maka bagian kain parasut/plastik tahan air harus dibongkar dulu dan dibuang ke kotak sampah terbakar, barulah sisa gagangnya masuk kategori tidak terbakar. Membuang pecahan kaca ataupun benda tajam juga harus dibungkus dan ditandai sedemikian rupa agar dikenali petugas sampah.

Jenis ketiga adalah botol, kaleng dan wadah produk yang bisa didaur ulang. Sampah botol maupun kaleng minuman memang tergolong cukup banyak jumlahnya, sejalan dengan mudahnya ditemukan vending machine di sepanjang jalan. Wadah produk kosmetik, sabun cair dengan tanda lingkaran daur ulang masuk dalam kategori ini, yang kemudian akan dipilah-pilah lagi oleh mesin otomatis untuk kemudian diolah menjadi bahan lain.

Jenis keempat adalah sampah ukuran besar, seperti bekas furnitur, kasur, sepeda maupun barang elektronik rumah tangga. Sampah jenis ini tergolong rumit karena sebenarnya banyak pilihan lain untuk memilah lalu didaur ulang sebelum benar-benar diterima sebagai sampah sehingga perijinan pembuangannya pun terkadang hanya dua kali dalam setahun, dan pemilik sampah masih akan dikenakan biaya tambahan jika volume dan jumlah sampah yang dibuangnya melebihi batas.

area pengumpulan sampah di ujung blok

Pada beberapa daerah pedesaan, kategori pemilahan sampah ini dipastikan menjadi lebih banyak, karena keterbatasan alokasi dana pengolahan sampah oleh pemda, sehingga setiap rumah diwajibkan benar-benar membagi sampahnya sebelum masuk tempat pengumpulan. Pernah diberitakan ada pemerintah kota yang menerapkan aturan 44 jenis sampah kepada warganya, karena mereka benar-benar ingin tidak ada sampah yang terbuang percuma. Mereka membagi secara detil sampah organik dapur, sampah kayu, plastik bungkus, hingga detail baterai bekas maupun sisa potongan kabel yang harus dipisahkan masing-masing. Sebagai data, Jepang masih tergolong rendah dalam rasio daur ulang sampah (20.8%) jika dibanding dengan negara industri lain seperti Inggris (39%) dan Belanda (51%) yang juga mengalami kendala kurangnya lahan.

Sampah yang telah dipisah di dalam rumah ini pun, harus dibungkus dengan wadah plastik yang juga ditentukan jenisnya, lalu menunggu hari pengumpulan di blok masing-masing. Semisal hari ini adalah jadwal pengumpulan sampah terbakar, maka petugas sampah tidak akan segan mengembalikan sampah kaleng ke depan rumah meskipun warga tidak sengaja salah menaruh sampahnya. Ataupun, jika sampah tersebut “tercemar” barang lain yang tidak sejenis, siap-siap menerima pengembalian dan menanggung resiko menumpuk sampah di rumah sendiri hingga hari pengumpulan berikutnya tiba. Seperti diketahui, hampir tidak ada tempat sampah disediakan di fasilitas umum seperti taman maupun mall, sehingga orang Jepang terbiasa mengantongi sampah mereka untuk kemudian dipilah dan dibuang di rumah masing-masing.

 

Sumber : (diakses pada 8 Februari 2017)

https://www.city.meguro.tokyo.jp/kurashi/shizen/gomi/pamphlet_shokai/shigengomipdf.html

https://www.tokyo-icc.jp/guide_eng/info/01.html




Leave a Reply