Keraguan yang sempat menghantui para orangtua, guru maupun siswa kelas XII di Jepang akhirnya terjawab. Pada penghujung bulan lalu, Menteri Pendidikan, Budaya, Olahraga dan Iptek (MEXT), Koichi Hagiuda, menyampaikan permintaan maafnya terkait pembatalan penerapan sistem ujian bahasa Inggris secara independen dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) untuk tahun ajaran mendatang. Pengambilan keputusan ini tergolong mendadak karena SNMPTN akan dilaksanakan pada bulan Februari, serta sangat jarang terjadi di Jepang. Dalam pernyataannya, Hagiuda menjelaskan bahwa sistem yang dianut kementriannya belum siap untuk menerapkan aturan baru tersebut.
Sejak awal tahun ajaran ini, banyak pihak yang sudah kebingungan terhadap wacana pelaksanaan ujian bahasa Inggris secara independen ini. Sebelumnya, materi bahasa Inggris yang diujikan sudah termasuk dalam paket SNMPTN, dengan menggunakan standar kurikulum pendidikan menengah seperti yang dijalankan selama ini. Seperti diketahui, persiapan para murid dan lulusan SMA demi menembus SNMPTN sangatlah keras, seperti di Indonesia secara umum. Ditambah lagi, bahasa Inggris menjadi momok bagi orang Jepang meskipun mereka sudah mulai pembelajarannya di tingkat sekolah dasar.
Pelaksanaan tes bahasa Inggris secara independen, sebenarnya merupakan bagian inti dari reformasi sistem SNMPTN. Para calon peserta SNMPTN diwajibkan mengambil satu dari enam lembaga penguji bahasa Inggris independen yang ditunjuk pemerintah, misalnya Eiken Test maupun TOEFL, sebagai satu persyaratan pendaftaran SNMPTN. Penggunaan lembaga ini sengaja dipilih agar para peserta dapat terukur kemampuannya dalam empat aspek penilaian, yaitu baca, dengar, tulis dan bicara. Lebih rinci, Monbusho dalam wacananya memberikan kesempatan maksimal dua kali bagi para calon dalam kurun bulan April – Desember.
Kendala
Penggunaan sistem baru ini sebenarnya memiliki beberapa kerugian. Meskipun pemerintah sudah menunjuk enam lembaga independen, namun hampir kesemuanya hanya menggelar tes di kota-kota besar saja. Permasalahan berikutnya adalah jadwal ujian yang terbatas, misalnya hanya setahun satu maupun dua kali saja. Hal ini mengakibatkan para pelajar yang berada di daerah harus berkorban ekstra guna menempuh ujian. Belum lagi, biaya pendaftaran yang cukup mahal juga menjadi kendala yang dikeluhkan para orangtua kepada komite sekolah, meskipun hal ini sebenarnya merupakan kompensasi bahwa tes yang akan ditempuh memiliki standar internasional. Para pengamat juga mengkhawatirkan, dengan penerapan tes oleh lembaga independen ini, lambat laun kurikulum pendidikan dasar untuk bahasa Inggris perlu dirubah karena orientasi empat aspek berbahasa saat ini belum diterapkan seutuhnya. Orang Jepang menghabiskan porsi lebih banyak dalam pembelajaran struktur bahasa maupun penambahan kosakata, alih-alih berlatih percakapan.
Reformasi Pendidikan
MEXT menjadwal ulang penerapan sistem baru ujian bahasa Inggris ini pada tahun ajaran 2024. Jika dilihat dari sudut pandang reformasi pendidikan, hal ini merupakan nilai positif dengan tujuan baik guna meningkatkan kualitas dan daya saing calon mahasiswa Jepang dalam empat aspek kemampuan berbahasa. Alternatif lain yang mungkin dapat diambil oleh MEXT adalah membuat satu standar baru yang mencakup semua aspek berbahasa tadi dan memasukkannya kedalam paket SNMPTN. Kedua hal ini selaras dengan langkah yang sudah diterapkan terlebih dahulu di tingkat pendidikan dasar dan menengah berupa peningkatan kemampuan berkomunikasi lisan disamping pembelajaran baca tulis.
Sumber :
https://www.yomiuri.co.jp/editorial/20191101-OYT1T50293/ (diakses pada 11 November 2019)