Tengah bulan September 2019 lalu, Kementrian Pertahanan Jepang telah merilis Buku Putih Pertahanan mereka, yang merupakan edisi perdana di era Reiwa, sejak dikukuhkan pada bulan Mei dengan Pangeran Naruhito sebagai Kaisar baru mereka. Buku Putih ini sebenarnya diluncurkan secara berkala oleh Pemerintah Jepang setiap tahunnya, sebagaimana yang selalu mereka cantumkan dalam laman resmi Kementrian Pertahanan, baik edisi bahasa Jepang maupun beberapa versi bahasa asing, selain bahasa Inggris. Lantas, apa yang spesial dalam edisi kali ini?
Beberapa bulan lalu, dunia dibuat gempar oleh serangan drone pada kilang minyak milik Kerajaan Saudi Arabia. Amerika Serikat langsung merespon hal tersebut, dengan sigap akan membantu Saudi dalam menumpas penyerang, dengan menjadikannya “musuh bersama”. Serangan ini juga memicu kekhawatiran Jepang, mengingat pemasok utama sumber energi Jepang berasal dari negara Timur Tengah. Apalagi dengan sikap Amerika Serikat yang selama ini sudah menjadi “sekutunya”, Kementrian Pertahanan Jepang telah memasukkan kejadian ini dalam buku putihnya sebagai salah satu pokok persoalan ancaman, yang perlu diantisipasi dan ditingkatkan kemampuan dalam mencegah maupun meresponnya.
Ancaman lain yang menjadi perhatian dalam buku ini adalah perkembangan rudal dan nuklir milik Korea Utara. Meskipun Presiden Trump dan Kim Jong Un sudah beberapa kali melakukan pertemuan membahas hal ini, Jepang sebaliknya semakin merasa terancam mengingat kemajuan teknologi yang dicapai kubu Pyongyang dalam litbang dan peluncuran low-altitude short-range missiles yang menjangkau seluruh wilayah kedaulatan Jepang. Sayangnya, upaya pemerintah dengan rencana menggelar sistem penghadang misil darat, Aegis Ashore, ditentang oleh masyarakatnya sendiri, terutama di prefektur Akita dan Yamaguchi. Kedua daerah tersebut memang akan dijadikan basis penggelaran kekuatan Aegis sistem karena posisi geografisnya.
Di sisi lain, perkuatan armada laut dan udara milik China melalui penambahan anggaran belanja militernya juga muncul dalam topik utama buku putih ini. Rivalitas Jepang – China memang seakan tidak akan pernah berakhir. Kedua negara ini memiliki lintasan sejarah yang cukup kelam, meskipun akar budaya keduanya berasal dari ujung yang sama. Konflik di perairan sekitar Pulau Senkaku, wilayah Okinawa, terus menghangat karena militer China semakin meningkatkan aktivitasnya di area tersebut. Pemerintah Jepang telah menambah kekuatan patroli pantai serta kemampuan penangkis pada pulau-pulau terluarnya guna mengantisipasi gerakan militer China.
Selain itu, sebuah kolom khusus juga mengangkat topik tentang pengembangan drone yang dilengkapi kecerdasan buatan milik China dan Rusia. Pemerintah Jepang menggaris bawahi hal ini sebagai prospek dimasa depan yang dapat merubah medan perang secara drastis di masa mendatang. Bersama Amerika, Jepang berharap dapat mendahului dalam menemukan penangkal teknologi ini, misalnya dengan menyebar satelit intai.
Terdapat catatan dalam hal kerjasama militer Jepang dengan kawasan maupun negara yang secara khusus memiliki potensi di masa mendatang, selain dengan Amerika Serikat. Jepang sudah jauh hari memprogramkan kerjasama dengan Australia, disusul oleh Korea Selatan seperti yang dicantumkan pada buku putih edisi tahun lalu. Tetapi, ketegangan antara Tokyo – Seoul yang meningkat beberapa waktu lalu ternyata berimbas pada prioritas kerjasama Jepang – Korsel merenggang, hingga akhirnya Jepang menolak kesertaan militer Korsel latihan bersama yang diinisiasi Japan Maritime SDF bulan Oktober ini.
Secara detail, buku putih pertahanan ini dapat diakses pada tautan https://www.mod.go.jp/e/publ/w_paper/2019.html
sumber : https://www.yomiuri.co.jp/editorial/20190927-OYT1T50443/