Kebijakan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada pidato pertamanya di gedung MPR pada tanggal 20 Oktober 2014 silam adalah untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim dan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Hal tersebut merupakan titik tolak seluruh elemen bangsa Indonesia dalam rangka turut mengembangkan seluruh potensi sumber daya alam kelautan yang dimiliki.
TNI AU sebagai kekuatan utama wilayah udara di Indonesia mempunyai tugas pokok diantaranya adalah sebagai penegak kedaulatan dan hukum di wilayah udara nasional Indonesia, termasuk didalamnya wilayah udara diatas perairan Indonesia. Selain itu dalam Operasi Militer Selain Perang, salah satu tugas TNI AU adalah untuk membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue). Bekerjasama dengan TNI AL, kedua tugas TNI AU diatas berkaitan erat dengan konsep negara maritim yang dicanangkan Presiden. Dalam rangka pelaksanaan tugas di wilayah perairan Indonesia ini mutlak diperlukan kecepatan dan fleksibilitas yang tinggi mengingat kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak pulau.
Dalam konteks pengamanan dan SAR di laut dan wilayah terpencil, alutsista yang dimiliki TNI AU saat ini akan memiliki tantangan yang lebih berat di masa mendatang, sehingga diperlukan terobosan alutsista yang mampu menjawab tantangan akan konsep negara maritim. Alutsista tersebut adalah pesawat amfibi yang memiliki kemampuan tinggal landas di darat maupun di air. Dalam hal ini, pesawat amfibi bukan merupakan hal yang baru bagi TNI AU karena Skadron Udara 5 sudah pernah mengoperasikan PBY-5 Catalina dan UF-1/2 Albatros sampai periode 1980-an. Semenjak saat itu TNI AU tidak lagi mengoperasikan pesawat amfibi.
Secara geografis, Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah laut terbesar di dunia dengan luas perairan 3,1 juta km2 dan garis pantai sepanjang 81.000 km2. Garis pantai ini merupakan gabungan dari panjang garis pantai seluruh pulau yang dimiliki Indonesia sebanyak 13.487 pulau (Keputusan Presiden No.112 tahun 2006). Presiden RI pertama Soekarno sebagai founding father telah menyadari arti pentingnya jati diri kebaharian yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Pada masa pemerintahannya, melalui Perdana Menteri Djuanda Kartawidjadja, menghasilkan sebuah deklarasi yang kemudian dikenal dengan deklarasi Djuanda pada tahun 1957. Deklarasi ini untuk menunjukkan kepada dunia internasional tentang konsep jati diri Negara Kesatuan Republik Indonesia yang termasuk wilayah laut kepulauan yang ada didalamnya. Konsep negara kepulauan ini kemudian ditetapkan dalam sebuah konvensi hukum laut internasional PBB pada tahun 1982 dengan nama United Nations Convention On The Law of The Sea (UNCLOS).
Program Tol Laut merupakan sistem logistik kelautan atau dengan nama lain ‘Pendulum Nusantara’. Konsep ini memungkinkan kapal-kapal besar bolak-balik membawa logistik dari barat ke timur atau sebaliknya. Pengembangan pelabuhan juga mendorong keberadaan pelabuhan laut dalam sehingga mampu disinggahi kapal-kapal besar. Berdasarkan data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dikutip pada tanggal 18 November 2014, pengembangan pelabuhan akan dilakukan mulai dari ujung barat sampai ujung timur Indonesia. Direncanakan pemerintah akan membangun total 24 pelabuhan untuk mendukung program tol laut.
Dari konsep negara maritim dan program tol laut yang dicanangkan pemerintah, maka ada beberapa potensi keamanan, keselamatan dan bencana di wilayah perairan/laut yang patut diwaspadai dan menjadi tantangan yang lebih berat bagi TNI AU di masa mendatang yakni :
a. Infiltrasi Kapal Asing. Dengan konsep tol laut yang dicanangkan Presiden saat ini, seiring dengan bertambahnya mobilisasi kapal-kapal besar untuk mengangkut logistik di wilayah perairan nusantara, maka kemungkinan penyusupan atau infiltrasi oleh kapal-kapal asing menjadi semakin besar.
b. Illegal Fishing.Pencurian ikan (illegal fishing) yang marak terjadi di perairan Indonesia menimbulkan kerugian kurang lebih 300 triliun tiap tahunnya bagi negara. Hal ini tentunya harus mendapat penanganan khusus salah satunya dari TNI AU.
c. Keselamatan di Laut. Dengan bertambahnya mobilisasi kapal-kapal berukuran besar, sedang dan kecil yang lalu-lalang di wilayah perairan Indonesia, maka potensi terjadinya kecelakaan di laut pun semakin besar. Lebih dari itu, potensi kecelakaan pesawat terbang yang jatuh ke laut pun tidak dapat dikesampingkan seperti kejadian Air Asia QZ8501 pada akhir bulan Desember yang lalu.
d. Bencana di wilayah/pulau terpencil. Karena letak geografisnya, Indonesia merupakan negara yang rawan akan bencana. Pengalaman menunjukkan ketika terjadi bencana di daerah terpencil, tidak jarang penanganan terhadap bencana tersebut lambat karena ketiadaan sarana transportasi yang memadai.
Potensi keamanan, keselamatan dan bencana diatas membuat peran pengamanan dan SAR TNI AU di laut dan wilayah terpencil, bekerjasama dengan pihak lainnya seperti TNI AL, Kepolisian dan Basarnas akan semakin besar di masa mendatang.
Dalam rangka salah satunya untuk menjaga keamanan perairan Indonesia, saat ini TNI AU memiliki pesawat intai maritim B737-200 dan CN-235 MPA yang memiliki tugas pokok pengintaian udara strategis dan pengawasan maupun pengamanan terhadap semua objek bergerak di permukaan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan jalur lalu lintas damai. Kedua jenis pesawat ini secara teknis memiliki kemampuan untuk foto, deteksi, lokalisasi, identifikasi, dan tracking kapal atau benda asing yang secara ilegal memasuki wilayah perairan Indonesia. Kedua pesawat ini memiliki indurance flight time yang panjang namun memiliki keterbatasan hanya bisa menggunakan landasan dengan minimal panjang tertentu (B-737-200 1700m, CN-235 1160m) sehingga tidak mampu mendarat di daerah terpencil dan kepulauan terluar Indonesia.
Indonesia memiliki pengalaman akan terjadinya bencana di daerah terpencil. Penanganan terhadap bencana tersebut tidak jarang terasa lambat karena ketiadaan sarana transportasi yang memadai. Berkaitan dengan itu, dalam rangka tugas SAR, TNI AU memiliki berbagai macam alutsista seperti B737-200, C-130 Hercules, CN-295, dan CN-235 untuk kategor pesawat bersayap tetapdan EC-120 Colibri, SA-330 Puma, NAS-332 Super Puma, yang akan datang EC-725 Cougar untuk kategori helikopter. Namun dalam pengoperasiannya, alutsista diatas memiliki keterbatasan. Pertama, pesawat bersayap tetap memiliki keterbatasan harus mendarat di landasan terdekat sehingga sulit untuk memberikan penanganan dropping tenaga bantuan, logistik dan evakuasi medis secara on the spot di wilayah terpencil. Hal tersebut akan mampu dipenuhi oleh alutsista helikopter apabila terjadi bencana alam ataupun kecelakaan di daratan. Kedua, apabila terjadi kecelakaan di laut, helikopter tersebut tidak mampu untuk mendarat di air. Hal ini bisa diatasi dengan bekerjasama dengan kapal milik TNI AL, namun efektifitas waktu menjadi berkurang. Kekurangan yang ketiga adalah apabila terjadi kecelakaan atau bencana di daerah terpecil atau kepulauan terluar yang lokasinya cukup jauh dari home base yang hanya dapat dijangkau oleh helikopter, penanganan akan memakan waktu mengingat terbatasnya kecepatan helikopter apabila dibandingkan dengan pesawat bersayap tetap.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan ada beberapa faktor yang menjadi tantangan TNI AU di masa mendatang dalam tugasnya sebagai sayap tanah air khususnya dalam bidang pengamanan dan SAR di laut dan wilayah terpencil Faktor-faktor tantangan bagi TNI AU tersebut antara lain :
a. Membutuhkan alutsista yang mampu mendarat dimanapun tidak bergantung akan landasan udara.
b. Memerlukan alutsista yang mampu memberikan penanganan SAR untuk dropping tenaga bantuan, logistik dan evakuasi medis secara cepat di perairan.
c. Membutuhkan alutsista yang memiliki kecepatan dan fleksibilitas yang tinggi untuk mengatasi ancaman keamanan di laut dan wilayah terpencil.
d. Membutuhkan alutsista yang dalam kondisi normal dapat digunakan untuk angkutan penumpang dan barang di tempat-tempat terpencil.
e. Membutuhkan keberadaan alutsista yang dapat mempunyai peran strategis untuk gelar pasukan pasukan khusus agar dapat lebih cepat menuju ke titik sasaran di pulau terluar/terpencil.
Pesawat amfibi merupakan salah satu solusi untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang telah diuraikan sebelumnya. Pesawat amfibi adalah pesawat yang bisa lepas landas dan mendarat di darat dan air. Jenis pesawat ini memiliki kemampuan ganda selain sebagai pesawat bersayap tetap konvensional untuk beroperasi dari landasan, juga sebagai amfibi untuk beroperasi diatas air. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan pelampung atau lambung untuk penggunaan di air yang dikombinasikan dengan landing gear atau roda pendarat untuk dapat digunakan di landasan.
Program modernisasi persenjataan TNI untuk memantapkan postur tentara modern sudah menyelesaian tahap pertama pada akhir tahun 2014. Program MEF (Minimum Essential Force) ini mencapai 38% dari nilai target MEF. Program ini akan berlanjut pada tahap kedua (2015-2019) dan ketiga (2020-2024) . Dengan mempertimbangkan kondisi saat ini seperti yang telah diuraikan sebelumnya, diharapkan pesawat amfibi juga menjadi bagian dari program modernisasi persenjataan TNI pada tahap kedua atau tahap ketiga. Adapun jenis pesawat amfibi yang dapat dijadikan alternatif untuk menjadi kekuatan TNI AU adalah sebagai berikut:
a. Shinmaywa US-2. Pesawat amfibi ini merupakan produk perusahaan ShinMaywa Industries, Ltd., Jepang. Berdiri sejak tahun 1949, perusahaan ini bergerak dalam industri alat berat dan pembuatan pesawat amfibi yang memiliki kemampuan STOL (Short Take OffLanding). Pesawat ini mulai dioperasikan secara resmi oleh Angkatan Laut Jepang pada bulan Maret 2007. Pesawat ini menggunakan pendorong jenis turboprop dengan 4 engine Rolls RoyceAE 2100J. Keistimewaan Shinmaywa US-2 adalah mampu mendarat di laut dengan tinggi gelombang sampai dengan 3 meter. Pesawat ini hanya membutuhkan jarak 480m di darat dan 280m di air saat tinggal landas, sedangkan saat mendarat hanya perlu jarak 1500m di darat dan 330m di air. Pada pertengahan tahun 2014 angkatan laut India memesan 18 pesawat amfibi jenis ini dengan harga per unit nya antara 90-115 juta dolar AS tergantung konfigurasinya, direncanakan delivery antara tahun 2016-2018.
b. Bombardier 415 MP. Pesawat amfibi ini adalah produk Bombardier, Inc., Kanada. Perusahaan ini bergerak pada pembuatan pesawat dan kereta api. Salah satu jenis pesawat yang dibuatnya adalah pesawat amfibi Bombardier 415 MP.Melalui laman resminya, pesawat ini pertama kali beroperasi pada bulan November 1994. Pengguna pertamanya adalah Departemen Sumber Daya Alam Kanada. Negara tetangga kita, Malaysia juga tercatat memiliki jenis pesawat ini sebanyak 2 unit yang dipesan pada tahun 2008. Pesawat ini menggunakan pendorong turboprop dengan 2 engine Pratt & Whitney PW123AF, membutuhkan jarak 783m di darat dan 814m di air saat tinggal landas, sedangkan ketika mendarat perlu jarak 674m di darat dan 665m di air. Daya angkut pesawat ini adalah 8 penumpang dan mampu mendarat di laut dengan maksimal tinggi gelombang 1.8m.
c. Beriev Be-200. Pesawat ini merupakan produksi Beriev Aircraft Co., Rusia. Melalui laman resminya, pesawat ini pertama kali dioperasikan oleh Emercom, badan SAR Rusia pada bulan September 1999. Beriev Be-200 berjenis turbofan dengan 2 engine Progress D-436TP sebagai tenaga pendorong. Pesawat ini membutuhkan jarak 700m di darat dan 1000m di air saat tinggal landas, sedangkan ketika mendarat memerlukan jarak 1050m di darat dan 1300m di air. Kapasitas angkut pesawat ini adalah 72 penumpang dan mampu mendarat di laut dengan maksimal tinggi gelombang 1.2m. Selain dioperasikan oleh Kementerian Situasi Darurat dan Kementerian Pertahanan Rusia, pesawat ini juga dibeli oleh Kementerian Tanggap Darurat Azerbaijan sebanyak 1 unit pada tahun 2008. Rusia juga menyertakan pesawat ini untuk membantu evakuasi pesawat Air Asia QZ8501 di selat Karimata. Namun sayang pesawat ini belum mampu unjuk kebolehan untuk mendarat di laut karena gelombang di selat Karimata yang rata-rata mencapai ketinggian 2m atau lebih.
Tabel 1. Perbandingan Spesifikasi Teknis Pesawat Amfibi
Spesifikasi Teknis | Shinmaywa US-2 | Bombardier 415MP | Beriev Be-200 |
Kapasitas maks.(org) | 38 | 13 | 72 |
Panjang (m) | 33.3 | 19.8 | 32 |
Rentang sayap (m) | 33.2 | 28.6 | 32.8 |
Tinggi (m) | 9.8 | 8.98 | 8.9 |
Engine | Roll-Royce AE2100J (x4) | Pratt & Whitney PW123AF (x2) | Progress D-436TP(x2) |
Propeller | Dowty R414, six blades | Hamilton Standard 14SF-19, four blades | – |
Berat kosong (kg) | 25.630 | 12.882 | 27.600 |
MTOW di air (kg) | 43.000 | 17.170 | 37.200 |
MTOW di darat (kg) | 47.700 | 18.597 | 41.000 |
V maks. (km/jam) | 560 | 333 | 710 |
V jelajah (km/jam) | 480 | 259 | 600 |
Jarak tempuh (km) | 4.500 | 2.443 | 2.100 |
Ketinggian jelajah (m) | 6.000 | 4.500 | 8.000 |
Jarak T/O di darat (m) | 490 | 783 | 700 |
Jarak T/O di air (m) | 280 | 814 | 1.000 |
Jarak landing di darat (m) | 1.500 | 674 | 1.050 |
Jarak landing di air (m) | 330 | 665 | 1.300 |
Tinggi gelombang maksimum (m) | 3 | 1.8 | 1.2 |
Kisaran harga (USD) | 75-115 juta | 31-37 juta | 44-50 juta |
Dari uraian diatas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
a. Kebijakan pemerintah saat ini untuk mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai poros maritim dunia akan menimbulkan tantangan bagi TNI AU berupa potensi akan keamanan, keselamatan dan bencana di wilayah perairan/laut dan wilayah perbatasan di masa mendatang.
b. Terobosan alutsista yang memiliki kecepatan dan fleksibilitas tinggi diharapkan mampu sebagai solusi akan tantangan-tantangan tersebut.
c. Dengan mengedepankan alih teknologi khususnya untuk pemeliharaan alutsista, pesawat amfibi merupakan solusi untuk meningkatkan kemampuan keamanan dan SAR TNI AU di masa depan. Alternatif jenis pesawat amfibi yang dapat dijadikan pertimbangan adalah Shinmaywa US-2, Bombardier 415 MP, dan Beriev Be-200.
Referensi:
- www.shinmaywa.co.jp, diakses pada 29 November 2014
- www.fligthglobal.com, diakses pada 30 November 2014
- www.bombardier.com, diakses pada 29 November 2014
- www.beriev.com, diakses pada 30 November 2014
- www.kompas.com, diakses pada 6 Januari 2015
Oleh: Alradix Djansena, B.Eng.,M.Eng.