Enam tahun semenjak Tsunami 3.11

Kembali ke kehidupan normal sepertinya hanyalah mimpi bagi sebagian korban bencana tsunami pada tanggal 3 Maret 2011 lampau yang menghantam garis pantai Samudera Pasifik di bagian utara pulau Honshu. Tercatat sebanyak 36 ribu penduduk masih menempati perumahan darurat, tersebar di propinsi Miyagi, Iwate dan Fukushima, setelah gempa besar yang disusul gelombang tsunami meluluhlantakkan area Tohoku, sekaligus merusak fasilitas pendingin pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima, hingga memaksa penduduk lokal untuk mengungsi lebih jauh karena ancaman radiasi.

Enam tahun bencana tersebut berlalu, berdasar data pemerintah daerah, sebanyak 18 ribu dinyatakan meninggal atau hilang, 123 ribu orang belum dapat kembali ke kampung halamannya, dan terpaksa tinggal dalam bangunan darurat, menyewa apartemen ataupun menumpang sanak saudara di propinsi lain. Mayoritas mereka sudah lelah untuk sekedar berharap bisa kembali dan memutuskan untuk memulai lembaran baru di tempat baru. Jumlah ini sebenarnya mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu sebanyak 174 ribu, atau seperempat dari jumlah awal yang terdata sesaat setelah bencana yaitu 470 ribu orang. Termasuk, sekitar 80 ribu penduduk yang secara sukarela meninggalkan rumah mereka setelah pemerintah mengumumkan peringatan ancaman radiasi akibat kerusakan sistem pendingin pada reaktor nuklir Fukushima.

Restorasi infrastruktur sebenarnya terus berjalan. Pemerintah daerah mencatatkan, area persawahan yang sempat tergerus tsunami, 96 % di Miyagi dan 77 % di Iwate telah dikembalikan dalam kondisi siap digunakan kembali. Di area Fukushima hanya tercapai 46 % karena imbas radiasi, meski geografis lahan sebenarnya sudah kembali tertata dengan baik. Di sektor perikanan pun, 70 % telah kembali ke kondisi sebelum bencana tahun 2011 tersebut. Restorasi ruas jalan raya dan jalur kereta pun telah mencapai angka 90 % seiring dengan normalisasi pelayanan angkutan.

Namun dari sisi pemulihan kondisi keseharian penduduk, sepertinya tidak berjalan dengan baik bahkan terkesan tidak berkesudahan. Dari sekitar 53 ribu perumahan darurat yang dibangun di tiga area terdampak paling parah, tercatat 45 ribu diantaranya (sekitar 80 %) masih ditempati hingga sekarang. Data pada awal Januari tahun ini menyebutkan 35 ribuan orang masih bertahan di bangunan darurat tersebut, yang berarti baru 30an persen yang sudah berpindah dengan menyewa apartemen maupun membangun swadaya rumah baru mereka. Orang-orang yang tersisa inilah yang rawan menjadi terisolasi dan kehilangan komunitas awal mereka sebelum terjadinya bencana.

Pada saat bencana Gempa Hanshin tahun 1995, tercatat enam ribu orang meninggal di Kobe, dan lima tahun setelahnya, para korban selamat telah kembali ke kehidupan normal mereka. Dibandingkan dengan Fukushima sekarang ini, baru seperlima area bencana yang berhasil pulih, meski mayoritas masih dihantui kekhawatiran efek sisa radiasi. Pihak pengelola reaktor pun sepertinya kewalahan dengan tingginya level radiasi yang diperkirakan akan memakan waktu beberapa dekade untuk dinyatakan aman setelah mengevaluasi hasil dari robot penguji. Pemerintah daerah setempat pun mengambil kebijakan untuk merelokasi para penduduk ke area utara yang relatif lebih aman dan jarang penduduk.

Meski begitu, dari hasil survey terhadap para korban, kebanyakan dari mereka, dan cenderung generasi muda, bersikukuh tetap ingin kembali ke kampung halamannya. Mereka merasa kurang nyaman jika harus beradaptasi lagi di lingkungan baru, belum pula sarana infrastruktur seperti akses transportasi yang tidak selengkap daerah asal mereka. Enam tahun berlalu, dan sepertinya pemerintah masih menanggung pekerjaan rumah yang cukup pelik dalam menyelesaikan rangkaian restrukturisasi ini.

 

Sumber :

Editorial the Japan Times, 11 Maret 2017.

 




Leave a Reply