Intelektualisme Angkatan Laut: Alasan Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II

Pada akhir abad ke-19, Angkatan Laut Kekaisaran Jepang mampu tampil sebagai kekuatan angkatan laut modern meski dengan modal pengalaman yang sangat minim dalam dunia angkatan laut terdahulu (angkatan laut yang berperang dengan kapal layar). Ketika Jepang memasuki dunia angkatan laut, era uap dan baja sudah dimulai, dan tak lama kemudian Jepang sadar akan ancaman dari kekuatan-kekuatan angkatan laut modern yang telah menguasai Asia. Situasi inilah yang membuat Jepang paham betul akan urgensi untuk segera menjadi angkatan laut modern seperti halnya angkatan laut negara-negara Eropa dan Amerika. Kemudian, Jepang mengadopsi teknologi modern dan prosedur taktis dengan sangat cepat, juga berupaya mengadopsi konsep intelektualisme angkatan laut di level organisasi yang lebih tinggi, namun mereka gagal untuk sepenuhnya memahami “gambaran besar” dari dunia angkatan laut.

Dalam proses membangun angkatan laut modern, para pemimpin Jepang benar-benar paham akan pentingnya pendekatan intelektual, seperti yang dinyatakan Laksamana Sumiyoshi Kawamura: “… kapal perang dapat dibeli dengan uang, tetapi jika prioritas pertama Angkatan Laut Jepang adalah mendidik perwira angkatan laut yang cakap, dalam waktu lima belas tahun tahun, bisa menjadi Angkatan Laut berkelas dunia ”. Pendekatan intelektual Angkatan Laut Jepang mirip dengan pengembangan intelektual Angkatan Laut AS yang diprakarsai oleh Stephen B. Luce pada akhir abad ke-19. Dia menekankan pentingnya kualifikasi intelektual, penerapan metodologi dalam penyelesaian masalah dengan komitmen untuk mempelajari seni dan ilmu perang, serta interaksi terbuka yang positif dengan penelitian akademis di luar angkatan laut.

Namun, di bawah tekanan urgensi untuk menjadi angkatan laut modern serta kurangnya pengalaman operasi pada jaman kapal layar, Jepang gagal dalam menerapkan konsep “intelektualisme angkatan laut” dengan benar. Jepang telah mengambil keputusan yang tepat dengan menjadikan intelektual sebagai kualifikasi terpenting bagi militer profesional, tetapi mereka cenderung menganggap “intelektual” sebagai kemampuan teknis. Jepang telah menekankan pentingnya metodologi dalam penyelesaian masalah, penelitian dan pengembangan yang didedikasikan untuk mempelajari seni dan ilmu perang, namun mereka kesulitan dalam memberdayakan keunggulan perorangan menjadi keunggulan kolektif pada level organisasi. Angkatan Laut Jepang melakukan interaksi intelektual aktif di antara para perwiranya, tetapi memiliki kontak yang sangat terbatas dengan para peneliti luar.

Jadi, para pemimpin Jepang abad ke-19 telah membuat keputusan yang tepat dengan memilih pendekatan intelektual, yang dikenal sebagai “intelektualisme angkatan laut”, dalam upaya untuk membangun angkatan laut modern. Namun, pada praktiknya, mereka cenderung fokus pada penguasaan teknologi dan taktis. Angkatan Laut Jepang gagal menerapkan konsep “intelektualisme angkatan laut” dengan benar. Akibatnya, kemampuan mereka untuk memenangkan pertempuran tidak berkembang menjadi pemahaman tentang bagaimana memenangkan perang. Hal ini lah yang kemudian menjadi salah satu faktor penyebab kekalahan Jepang pada Perang Dunia II.

Ref: Keizo Kitagawa, “Naval Intellectualism and the Imperial Japanese Navy,” N.A.M. Rodger, J. Ross Dancy, Benjamin Darnell and Evan Wilson, eds., Strategy and The Sea: Essays in Honour of John B. Hattendorf(Woodbridge: Boydell Press, 2016), p. 230.

Artikel Terkait Angkatan Laut Kekaisaran Jepang: Pelajaran dari Pertempuran Midway  Laksamana Togo Heihachiro

Photo: Wikipedia




Leave a Reply